Oleh: Tofik Rochadi
Hari Sabtu-Minggu kemarin (8-9 Juni 2013) saya jalan-jalan ke suku Sasak di
Lombok. Setelah mengikuti Worksop Pengembangan Karir bagi Pendidik dan Tenaga
Kependidikan Selama empat hari, saya sempat bincang-bincang dengan Ageng yang
menyambut kami dan mengantarkan berkeliling desa. Kebetulan dia baru saja menikah dan bercerita mengenai pengalamannya
“menculik” calon pengantin wanita. “Hah, menculik?”, tanya saya. Seorang
laki-laki disebut sebagai laki-laki jantan ketika ia sudah bisa menculik calon
pengantinnya. Lho, bukannya menculik itu tidak boleh? Dijawab, ya memang begitu
budayanya.Si laki-laki yang berniat menikahi wanita harus menculik calonnya,
dan harus tanpa sepengetahuan orang tua wanita. Biasanya dilakukan pada malam
hari. Si wanita pun tidak boleh memberitahu orang tuanya ia pergi ke mana. Lalu
si wanita dibawa ke rumah keluarga laki-laki selama tiga hari atau lebih.
Setelah itu, maka pihak kepala dusun dari wilayah laki-laki akan menyelesaikan
masalah ini. Dengan cara mendatangi rumah orang tua wanita untuk memberitahukan
bahwa anak wanitanya diculik untuk dinikahi oleh calonnya.
Inilah cara yang kalau dalam budaya umum dikenal dengan “meminang”.Kalau
keluarga wanita tidak menerima anaknya diculik karena misalnya berbeda status
sosial maka pertikaian muncul. Apalagi jika si laki-laki tak mau mengembalikan
wanita yang diculiknya. Tapi, menurut keterangan pertikaian tentang ini jarang
terjadi. Penolakan memang sering terjadi setelah proses penculikan, tapi bisa
diselesaikan dengan damai agar tidak muncul huru-hara. Kemudian, jika si
keluarga wanita menerima alasan anaknya diculik untuk dinikahi, maka keluarga
wanita lalu meminta sejumlah uang tebusan. Mungkin dalam bahasa umumnya mas
kawin atau mahar. Si calon laki-laki (Ageng sahabat saya ini) harus
mengusahakan uang tebusan yang diminta oleh orang tua si wanita. Jika tidak,
maka orang tua tidak merestui anaknya menikah.Setelah memenuhi permintaan orang
tua wanita maka pernikahan dilakukan. Dari suku Sasak yang beragama Islam, maka
pernikahan dilakukan seperti umumnya budaya Muslim, dan jika Hindu dilakukan
dengan budaya Hindu. Setelah prosesi pernikahan selesai, si pengantin pria dan
wanita lalu akan diarak mengelilingi kampung untuk menunjukkan bahwa ia sudah
punya pasangan. Ia sudah sukses menculik dan menikahi wanita pujaannya. Pengantin
diarak mengeliling kampung, dari kampung laki-laki ke kampung istri dengan
iringan musik gendang Beleq (gamelan dengan gendang khas budaya suku Sasak
Lombok).
Dari proses perkawinan seperti di atas menunjukkan bahwa Pernikahan
adalah kejadian, kejadian dimana perjanjian antara dua manusia terjadi.
Perjanjian suci menurut Islam sangatlah berat. Karena memerlukan tanggung
jawab, komitmen, dan kasih sayang. Pernikahan adalah hal normal yang dibutuhkan
manusia. Dalam islam, hukum pernikahan adalah sunnah. Tapi dapat menjadi wajib,
makruh, atau bahkan haram.
Karena pernikahan adalah sebuah ikatan atau
perjanjian, dijelaskan juga di suaramedia.com,
bahwa pernikahan memiliki tata cara dan proses. Seperti yang dilakukan suku
sasak hanyalah sebuah cara, endingnya ada Ijab dan qabul yang diucapkan untuk
menandakan pernikahan yang sah dan pasangan siap untuk melangkah ke babak
kehidupan baru. Pernikahan telah dituntunkan oleh Rasulullah SAW sebagai ibadah
apabila dilakukan berdasarkan niat yang tulus dan ikhlas.
Uniknya orang tua suku sasak pada umumnya
tidak menyaratkan uang tebusan setelah diculik dengan harga yang mahal,
disesuaikan kepantasan apalagi pihak wanita sudah suka sama suka. Hal ini sesuai
juga dengan tuntunan Islam melalui Rasulullah bahwa pernikahan yang paling besar barokahnya adalah yang paling murah
maharnya. Kita ketahui bahwa mempermudah
urusan dalam masalah mahar merupakan perkara yang sangat dianjurkan dalam
Islam. Dengan itu, seseorang menjadi lebih mudah untuk menikah, sehingga bisa
mengurangi terjadinya perzinaan dan kejahatan lainnya. Rasululloh menegaskan
bahwa pernikahan yang paling baik adalah yang paling mudah maharnya:
“Sebaik-baik
pernikahan adalah yang paling murah (maharnya)” Hadits Abu Daud dan
dishohihkan oleh al-Albani dalam Shohih Jami’.
Sahabat baru saya usai mengantar saya ke
mushola juga curhat bahwa sebenarnya ia belum siap menikah karena alasan
ekonomi. Saya tanya pendidikan dia, katanya hanya lulus SMA, sayapun
mengapresiasi bagus sudah cukup untuk menjadi guide bagi turis yang ingin mengetahui kehidupan suku Sasak di
Lombok. Sayapun ingat pendapat Mario Teguh tentang hal ini.
Lebih banyak orang sukses setelah menikah, daripada yang menunda menikah
karena alasan ekonomi. Perhatikanlah berapa banyak orang yang ekonominya tak
kunjung membaik selama mereka menunda pernikahan, karena mereka berharap kepada
uang dan bukan kepada Tuhan.Apakah mereka mencurigai harapan Tuhan agar kita
menikah - akan memiskinkan mereka?Atau apakah mereka sedang membodohkan diri
dengan rencana pesta pernikahan yang mahal – untuk memasuki kehidupan
pernikahan yang miskin dan banyak hutang? Di dalam pernikahan yang damai dan
penuh kasih Tuhan melancarkan rezeki bagi umatNya yang patuh, rajin, dan jujur.
Menikahlah karena cintamu kepada Tuhan dan kekasihmu, dan janganlah kau tunda
karena dugaan burukmu terhadap kemurahan Tuhanmu.Tuhan menciptakan segala sesuatu
berpasang-pasangan, dan dengannya pasanganmu yang sebaik dirimu telah ada. Ikhlaskanlah
dirimu kepada Tuhanmu, dan hiduplah dalam kedamaian dan kesejahteraan. Mario
Teguh – Loving you all as always.
Bahkan Mario Teguh menambahkan “Cintailah kekasihmu sepenuh hati, jangan sepenuh
jiwa. Supaya kalau engkau putus, engkau hanya sakit hati, dan tidak sakit jiwa”.*
Catatan: Di Sela
Perjalanan Dinas ke Lombok
Tidak ada komentar:
Posting Komentar