Kamis, 22 Maret 2012

DASTER UNTUK IBU

 Pesan Buku : http://www.leutikaprio.com CCP HP. 081326909454

By Tofik Rochadi
   Dari balik korden Dea menguping ibunya sedang berbicara dengan seseorang di ruang tamu. Ibu sudah pernah melarang Dea untuk tidak menguping dengan sengaja. Tadinya Dea ingin ke luar, tapi belum sampai ke ruang tamu, ia mendengar ibunya sedang berbicara. Dea ingin sekali tahu siapa tamu ibunya itu, jadi sebenarnya ia tidak sengaja.
   “Daster ini memang bagus, Bu, tapi harganya...” terdengar suara ibunya
   “Sudahlah, Bu, dibayar separuh dulu juga boleh, nanti sisanya diangsur” jawab seseorang.
   “Iya, tapi berat buat saya, Bu”
   “Sisanya dicicil tiga kali juga bisa, Bu Nani” Itu suara Bu Nardi. Oh, rupanya ibu sedang tawar menawar. Bu Nardi adalah pedagang keliling yang membawa segala macam pakaian. Hampir setiap hari ia mendatangi rumah-rumah menawarkan dagangannya. Itulah sebabnya nyaris seluruh penghuni perumahan ini mengenalnya dengan baik. Tapi sepertinya baru sekali ini Bu Nardi masuk ke rumah Dea. Kemudian ia mengintip kejadian di ruang tamu. Nampak ibunya sedang mengelus daster di pangkuannya  kemudian menempelkan ke badannya.
   “Ini asli batik Pekalongan, Bu, dijamin  adem dan tidak luntur. Tuh, jahitannya juga rapi. Ini murah, Bu! Coba Ibu lihat di toko, harganya berapa? Kontan! Kalau sama saya ringan, Bu” suara Bu Nardi ramah dan bersemangat, tidak mengenal kata menyerah. Sepertinya ia tahu  bahwa calon pembelinya sangat menginginkan daster merah jambu itu. Ibu menimang-nimang daster itu dan terus meraba kehalusan kainnya.
  “Bagaimana Bu Nani? Ayolah! Bila Bu Nani bayar sekarang separuh, saya korting. Bagaimana?” Bu Nardi merayu lagi
  “Aduh, maaf Bu, bukannya saya tidak suka dengan daster ini, tapi maaf ya, Bu, saya masih punya angsuran panci dan lainnya lagi. Belum lagi bayar buku Dea” jawab ibu dengan tegas sambil meletakkan daster itu ke tangan Ibu Nardi.
Dea terkejut ibunya menjawab demikian. Panci? Rasanya ibu tidak punya panci baru!  Angsuran buku? Buku apa? Ah, aneh sekali!
Bu Nardi terus membujuk, tapi nampaknya tidak berhasil. Akhirnya Bu Nardi mengemasi barang-brangnya dan berpamitan. Dea tahu ibunya membutuhkan dan menginginkan daster itu. Dea pernah mendengar--juga tidak sengaja-- pembicaraan ayah dan ibu soal daster. Ibu  berkata daster yang biasa dipakainya sudah usang, kainnya sudah lapuk, bahkan sudah ada yang sobek di bagian lengan, tapi ibu sudah menjahitnya.
  “Kalau keuangan Ibu longgar, ya belilah” begitu jawaban ayah waktu itu. Memang pakaian ibu tidak begitu banyak. Aduh, kasihan ibuku, begitu kata Dea dalam hati. Ia ingin tahu berapa si sebenarnya harga daster itu? Apakah mahal sekali, sehingga ibunya tidak berani mengambilnya? Dea mengurungkan niatnya ke luar lewat pintu depan. Setelah berpikir sejenak, ia  menunggu Bu Nardi di pintu samping. Ketika Bu Nardi lewat. diam-diam ia mengikutinya. Ketika sampai di tempat yang sepi,  Dea berteriak:
   “Bu..! Bu Nardi!”
Yang dipanggil menoleh dengan heran, tapi setelah tahu siapa yang memanggilnya, ia tidak hanya  tersenyum lebar, tapi tertawa gelak-gelak, mengira bahwa ibu Dea akhirnya setuju mengambil daster itu.
   “Oo.. Nok Dea, disuruh ibu memanggil saya ya?”
   “Tidak..tidak, Bu. Saya  mau beli daster”
   “Lho! Ibu tidak bawa daser anak-anak. Ada juga, rok! Ibu punya rok bagus!” Bu Nardi menurunkan tas besarnya sambil mengajak Dea menepi.
    “Bukan daster untuk anak-anak, Bu, tapi daster yang ditawar ibuku tadi..”
    “Oh, itu! Ibumu jadi?”
    “Tidak, tidak, Bu. Saya yang mau beli...buat ibuku”
    “Hadiah buat ibumu? Hadiah ulang tahun?” selidik Bu Nardi
    “Bu..bukan. Ya buat ibuku saja, tapi bukan hadiah ulang tahun..” jawab Dea polos
    “Betul Nok,  namanya hadiah kan tidak harus diberikan waktu ulang tahun” kata Bu Nardi sambil mengeluarkan daster merah jambu.
    “Tapi bayarnya bisa diangsur ya, Bu?” tanya Dea berlagak seperti ibu-ibu
    “Ya tentu saja, anak baik” puji Bu Nardi, “sekarang bayar separuh, sisanya diangsur”
    “Tapi berapa saya harus bayar sekarang, Bu?” Dea bertanya dengan berdebar-debar, takut uangnya tidak cukup. Untung ia tadi sempat mengambil uang sebelum mengikuti Bu Nardi.
   “Sekarang Nok Dea bayar sepuluh ribu. Sisanya lima belas ribu, bisa diangsur tiga kali”
Lega rasa hati Dea, karena uangnya cukup untuk membayar uang muka. Seminggu yang lalu ia mengisi kuis berhadiah ketika ikut rombongan sekolahnya mengunjungi Pameran Permusiuman dan Kepurbakalaan Tingkat Propinsi di kotanya. Karena beruntung, ia mendapat hadiah lima puluh ribu rupiah. Separuh uang itu ditabung, sebagian untuk membeli crayon dan sisanya itulah yang diberikan kepada Bu Nardi.
   Dea tersenyum puas. Cepat-cepat dibawanya daster itu pulang. Untung ibu tidak mengetahuinya. Mulai besok pagi Dea harus menyisihkan uang sakunya supaya bisa mengangsur daster itu. Ah, tidak mengapa! Kalau perlu aku mengambil tabungan, yang penting ibuku senang. Begitu pikirnya.
   Malam harinya Dea sibuk menyiapkan ‘hadiah’ buat ibunya. Pagi-pagi sebelum berangkat sekolah, ia meletakkan  kado yang dibungkus kertas indah itu di atas meja kamar ibunya. Ditutupnya kado itu dengan sapu tangan, supaya ayah tidak melihatnya.
Di sekolah, Dea gelisah. Ia membayangkan bagaimana wajah ibunya ketika “menemukan’ kado itu. Apalagi ketika membaca tulisan     
  “Daster Buat Ibuku Sayang” yang ia selipkan  di dalamnya. Pasti ibu akan terkejut. Pikiran Dea tidak tenang mengikuti pelajaran, ingin segera pulang.
   Ketika akhirnya bel tanda pelajaran usai berdering, Dea cepat-cepat mendahului teman-temannya. Sampai di rumah, seperti biasa, setelah mengucap salam, ia memanggil-manggil ibunya, tapi tidak ada sahutan. Ada apa ini? Apakah ibunya pergi? Kalau pergi, kenapa pintu tidak dikunci? Kenapa tidak meninggalkan pesan di tempat biasa? Ia segera menuju kamar ibunya. Kado di atas meja sudah tidak ada! Berarti ibu sudah.....
   “Wa’alaikumsalam!!” tiba-tiba ia dikejutkan suara ibunya, yang muncul dari balik pintu. Ibu mengenakan daster merah jambu, tersenyum sambil mengembangkan tangannya. Dea pun masuk ke dalam pelukannya. Sesaat  ibu dan anak itu berpelukan.
   “Terimakasih Dea, kamu anak baik” kata ibunya setelah melepaskan pelukannya
   “Ibu cantik sekali” komentar Dea, “Ibu senang  baju ini?”
   “Ya, tentu saja, tapi...”
   “Tapi apa, Bu?” Dea khawatir jangan-jangan sebenarnya ibu tidak menyukainya
   “Dari mana uang kamu untuk beli daster ini?” tanya ibu
   “Lho, ibu kan tahu, Dea dapat hadiah kuis! Sisa beli crayon masih ada, Dea bayarkan pada  Bu.....” Dea menutup mulutnya dengan tangan, merasa keceplosan
   “Jadi benar kamu ambil dari Bu Nardi? Ibu juga menebak begitu” 
   “Iya, Bu. Ibu tidak marah kan? Jangan kuatir, Bu, sisanya nanti diangsur dengan uang saku Dea..” Ibunya menggeleng-gelengkan kepala.
   “Kamu pasti menguping!” ibu menjewer telinga Dea dengan sayang. Dea berteriak, pura-pura kesakitan. Akhirnya ibu berkata:
   “Dea, Ibu menghargai usaha kamu menyenangkan Ibu, tapi bagaimanpun juga Ibu tidak setuju kamu belajar berhutang. Bagaimana kalau Ayah tahu? Pasti Ayah akan kecewa pada Ibu. Bukankah Ayah selalu bilang, berhutang itu jangan dilakukan, kecuali sangat terpaksa. Apalagi anak kecil! Masa kamu, kelas lima sudah belajar berhutang.... tidak boleh itu! Kalau menginginkan sesuatu kita harus bersabar. Kita kumpulkan uang dulu sampai cukup, baru kita beli sesuatu...”
   “Tapi Ibu bilang sedang mengangsur panci?” sela Dea. Ibu tertawa.
   “O itu, kan alasan Ibu saja, supaya Bu Nardi tidak tersinggung. Dengar ya Dea, walau pun hidup kita sederhana, tapi Insya Allah hati kita tenang karena Ayah dan Ibu tidak pernah berhutang. Kecuali jika kelak untuk modal usaha. Kamu tidak pernah dengar kan, Ayah dan Ibu ribut soal uang? Jadi, Dea sayang, nanti sore kita tunggu Ibu Nardi lewat, dan....”
   “Dan kita kembalikan daster ini ?” tanya Dea dengan cemas
   “O, tidak, tidak Dea cakep, masa daster sudah Ibu pakai dikembalikan! Labelnya saja sudah Ibu buang!”
   “Jadi?”
   “Kita lunasi saja! Biar kita tidak punya hutang. Biar Ibu yang melunasi”
   “Tapi, kata Bu Nardi, sisanya masih lima belas ribu, boleh dibayar tiga kali! Apa ibu punya..?”
   “Tenang Dea, kan Bu Nardi janji akan memberi kortingan. Ingat? Ibu yakin kekurangannya tidak sampai sepuluh ribu...” Dea hanya mengangguk-angguk.
   “Sudah, sana ganti baju, cuci tangan. Setelah makan, solat!” perintah ibunya.
   “Siap, bos!” jawab Dea sambil memberi hormat.
Setelah solat, Dea merengunkan nasehat ibunya. Ia berjanji, kelak akan seperti ibunya, supaya hidup tenang karena tidak punya hutang. Tak urung ia tertawa geli dalam hati, teringat kemarin ia punya hutang. Hi-hi-hi, anak kecil punya utang! Tapi semoga sore ini juga semuanya bisa diselesaikan.
***
Cerpen ini mengangkat tema sederhana tetapi bisa kita ambil amanatnya yang mendalam berbasis Pendidikan Karakter,   Telusuri    selengkapnya pada Buku Kumpulan Cerita Anak “Daster untuk Ibu”
Order buku ini di:  http://www.leutikaprio.com

HIDUP BARU SETELAH CRANIOTOMY

http://www.leutikaprio.com/penulis/12013343/tofik__rochadi
Keajaiban Doa:

Oleh: Tofik Rochadi

      Lokasi pekerjaanku yang berjarak 35 Km dari rumah, memerlukan energi khusus setiap hari. Lokasi pegunungan jalan berliku-liku menjadi sarapan pagiku.  Sering terjadi di sana dingin berkabut, tetapi di rumah panas sudah biasa. Belum lagi jika musim hujan, sudah berapa jas hujan yang habis rusak terpakai sudah tak terhitung lagi karena sampai saat ini lebih dari enam tahun berlalu. Sepatu boot sampai saat ini masih menjadi inventaris milikku, untuk safety karena aku mesti naik motor  setiap hari.

   Aku tak pernah membanggakan  diri, bahwa aku masih setia walaupun tempat kerjaku yang tergolong terpencil. Aku masih sering berangkat pagi sesuai jam kerja. Terbenam dalam dadaku, aku ingin memberi contoh teman-teman kerja. Bahwa setiap hari pulang-pergi kerja dengan motor tetap sehat dan semangat. Aku ingin tunjukkan pada kawan kerjaku tidak perlu mengeluh dan menjadikan alasan malas berangkat kerja. Tak tahu apakah ini sebuah keangkuhan atau kesombongan. Rupanya aku mendapatkan teguran dari Yang Maha Kuasa, sudah tiga hari aku terkena flu. Aku berusaha menyembunyikan keadaanku.

     Siang itu aku harus membawa berkas penting ke kantor di kota kabupaten. Karena sering datang kabut menerjang perjalananku. Aku siapkan berkas dalam plastik baru aku masukkan dalam tas. Perjalananku terganggu karena ponsel berbunyi, pesannya pada  SMS agar berkas segera sampai. Gangguan itu bertambah karena aku tidak nyaman dengan flu di hidungku yang mampet. Maka inheler yang sudah aku siapkan dalam jaket harus aku hirup meskipun dalam perjalanan. Helm cakil berstandard SNI yang aku kenakan agak merepotkan  juga, maka aku lepas talinya dan kubuka kaca helm itu.

     Aku tidak ingat lagi. Tahu-tahu aku sudah di rumah sakit. Sedikit yang aku ingat ketika aku teburu-buru dengan kisaran RPM kecepatan 70 km,   jalan menurun melewati pasar kecamatan, ada mobil tiba-tiba berhenti mendadak dan sopir membuka pintu.  Inilah awal petaka saya menabrak pintu mobil terpental di atas aspal sedangkan helm terlepas karena tidak mengait.

Hari pertama setelah di UGD aku tidak sadarkan diri, mungkin saja aku di ICU. Aku merasakan memasuki sebuah perjalanan panjang yang lurus dan lapang. Sampailah pada pintu dibuka ternyata  jalan itu putus dan aku terjungkal. Bukannya ditolong justru aku dipukuli orang-orang yang hitam legam berwajah buruk hingga kepalaku sakit tak terhingga. Untung saja aku ditarik oleh seorang wanita, menolongku dari amukan mereka. Konon katanya, sekarang aku baru  tahu bahwa kondisi saat itu istri tercinta selalu meneteskan air mata  mengantarkan doa di antara telingaku. Aku hanya  terlintas suara khas istri terngiang saja ada sebutan kata Allah. Aku tidak tahu Istriku terus memanjatkan doa disela menungguku dalam sholat maupun ketika di sisiku. “.Ya Allah, ampuni kami atas segala dosa kami. Jangan uji kami yang sekiranya kami tidak sanggup menanggung derita ini, Ya Rabbi. Jika  rasa sakit yang kami derita dapat Engkau jadikan sebagai penghapus dosa kami. Maka, sembuhkan suamiku Ya Allah dan ampunilah dosa kami.... AntasySyaafii ....laasyifa'a illaa Syifaa'uka... Engkaulah Maha Penyembuh..... tiada kesembuhan sejati kecuali yang datang karena-Mu Tolonglah kami dengan mendatangkan orang yang ahli mengobati kami.... Tolonglah kami dengan mendatangkan orang yang tahu obat penyakit kami... Tolonglah kami dengan menunjukkan cara yang benar dalam pengobatan penyakit kami.”

     Hari berikutnya aku harus berjalan lagi, tetapi jalan itu menjadi gelap. Aku tak bisa melihat hanya suara orang menjerit, mengumpat, dan riuh tak berbentuk. Aku tak bisa jalan lagi karena kaki ada yang menjeratku, badanku dipukuli dengan benda tumpul yang berat, kepalaku dilempari benda keras sakit sekali. Suasana kelam, hanya ada suara anak laki-laki yang dengan kemampuan bela dirinya membelaku. Akhirnya aku ditariknya keluar. Suasana menjadi terang. Aku tidak tahu apa yang dilakukan anakku saat itu, ia mengaku kalau saat itu anak laki-laki satu satunya selalu sholat malam dan berdzikir serta berdoa untuk ayahnya yang sedang kritis.

     Entah hari keberapa perjalanan harus dilanjutkan, kini jalan ini mendaki dengan susah payah diketinggian harus turun kembali. Tapi pada jurang yang dalam aku terpeleset dan jatuh ke jurang. Kepalaku sakit sekali, sudah begitu aku dikerumuni binatang aneh bentuknya, serem menakutkan. Gerombolan binatang itu saling berebut menggigitku. Untung saja segera datang sekelompok suku asing yang wajahnya sudah pernah aku kenal memberikan pertolongan, hingga binatang buas itu tunggang langgang. Aku baru tahu bahwa para jamaah pengajian, saudara dan kerabat yang membesukku selalu membisikkan doa. “Ya Allah Tuhan segala manusia, jauhkanlah penyakit saudaraku dan sembuhkanlah ia, Engkaulah yang menyembuhkan, tak ada obat selain obat-Mu, obat yang tidak meninggalkan sakit lagi. Hilangkan lah penyakit
itu, wahai Tuhan pengurus manusia. Hanya padamulah obat itu. Tak ada yang dapat menghilangkan penyakit selain Engkau, aku mohon kepada Allah yang Maha Agung, Tuhannya 'arasy yang agung, Ya  Allah sembuhkan saudaraku ini.”

     Aku baru sadar kalau aku saat itu sedang diangkut ambulan ke rumah sakit lain untuk CT Scan otak kepala. Hasil  laboratorium dianalisis tetapi rumah sakit tidak bisa menanggung dan harus dirujuk ke luar kota (Cirebon). Rumah sakit yang dituju tidak bisa menerima karena ruang ICU penuh, untung ada kakak ipar yang menjadi perawat di RSU itu mencarikan alternatif ke RS Trauma Center dan dihubungkan dengan seorang dokter bedah syaraf. Dokter akan berusaha menolong namun jika tidak sanggup harus dibawa ke RS Singapura.

      Ruangan ber AC, aku terisolasi hanya ditemani layar monitor tersambung kabel, selang oksigen, dan perawat yang mengawasi dari seberang kaca. Sehari kemudian konon aku  harus dioperasi kepala. Ketika disuntik lewat selang infus aku hanya mencium bau khas obat lalu mata menjadi berat utuk dibuka. Aku tengah berada di taman berbunga yang indah namun bau harumnya khas seperti obat. Aku berada di sebuah bukit nan hijau bertaburkan bunga taman nan sejuk dan indah. Sesekali terdengar suara seperti tawon kumbang terbang. Kupu kupu warna warni berterbangan. Indah sekali, belum pernah aku menjumpai bukit berbunga seperti ini. Aku tidak tahu proses operasi berlangsung.

Keterangan dari dokter dan perawat, bahwa setelah dianalilisis hasil CT Scan kepalaku terdapat gumpalan darah beku pada kepala, maka harus dilakukan bedah kepala yang disebut craniotomy. Trauma benturan ini berakibat cidera primer jika tidak segera ditolong bisa menjadi lebih berat cidera sekunder. Operasi craniotomy, dilakukan pada kepalaku dengan  membuat lubang pada tulang kepala untuk mengeluarkan gumpalan darah di dalam otak. Pada saat operasi, rambut kepalaku dicukur gundul. Kepala dibersihkan dengan cairan khusus untuk mengurangi resiko infeksi. Setelah ditentukan lokasi yang sesuai, kulit kepalaku dibuka lapis demi lapis hingga mencapai tulang kepala. Selanjutnya tulang kepala dibuka menggunakan alat khusus (semacam boor/ grenda). Setelah tulang terbuka, ternyata benar yang terjadi ditemukan gumpalan darah beku  pada lapisan di atas pembungkus otak. Setelah dipastikan semua gumpalan darah dapat terambil dan sumber pendarahannya bisa dihentikan maka dilakukan penutupan operasi. Penutupan dilakukan lapis demi lapis, pengembalian tulang ke posisi semula dan penutupan kulit kepala. Sampai sekarang bekas itu jelas terlihat dengan sayatan dan jahitan melingkar di kepalaku.

Aku kembali sadar setelah berada di ruang isolasi dengan suara komputer berdenyut. Tak ada pasien yang lain. Kepala tersambung selang, monitor tekanan otak, hidung di cocok selang oksigen. Aku membayangkan seperti robot pada film “terminator.” Kepala dibedah lalu ditutup kembali dengan jahitan melingkar.  Jahitan  kepala itu rapi terlihat dengan kaca cermin. Aku tak bisa mengingat siapa yang datang mebesukku. Terkadang aku terbangun istri tercintaku sedang sholat disamping dipan. Entah berapa panjang doa yang dilafalkan. Kurasakan  nyeri di kepala, perut mual-mual tetapi sejuk dihati manakala melihat istri khusuk melafalkan doanya.  “Ya, Allah, hanya kepadamu kami berserah diri tidak ada daya dan kekuatan selain dari Engkau, Ya Rabb. Syifaa'an laa yughaadiru saqamaa....... Ya Allah yang maha Penyayang, sembuhkan kami secara tuntas.....kesembuhan yang tidak membawa rasa sakit atau penyakit lain..... , yaitu kesehatan yang datang karena ridha-Mu. Kesehatan yang semakin meningkatkan ketakwaan kami.”

Kini aku sering ditanya hal yang sepele meskipun sering lupa. Mereka khawatir jika terjadi amnesia. Setiap hari berusaha  anak dan istriku memacu untuk mengembalikan memori dengan setia. 

“Siapa yang datang, Ayah” anak perempuanku mengetes ingatanku, ketika ada sesorang teman kantor membesukku.  Akupun susah mengingatnya.

“Pak Bejo.”  Mereka mentertawakanku, karena jawabanku salah.

“Itu Pak Subur, teman sekantor Ayah.” Anak perempuanku menjelaskan.

“Di mana rumah Pak Subur, Yah? Akupun  agak lama berfikir

“ Di Slawi.” 

“Ya betul, ayah hebat, seratus nilainya.”  Mereka menyampaikan syukur

“Alhamdulillah.” Kata mereka ingatanku  mulai membaik tidak separah yang dibayangkan sebelumnya.

Aku merasakan karunia Alah SWT dan keajaiban luar biasa karena ketulusan doa sanak saudara, anak, dan terutama istri tercinta. Suatu hari seorang ustadz yang sering membesukku menyampaikan kisahnya. Bahwa, seorang sahabat pernah bertanya kepada Rasulullah SAW : “Mengapa doa seorang perempuan lebih makbul dari seorang laki-laki?”. Beliau menjawab : “Ibu lebih penyayang dari pada seorang bapak, untuk itu doa dari orang-orang yang penyayang tidak akan disia-siakan”. Maka ustadz tersebut berkesimpulan doa istriku adalah doa yang ijabah.

Kini satu setengah tahun berlalu aku sudah sembuh meskipun bekas jahitan kepala terukir melingkar dan kepala menjadi penjol. Biarlah ini menjadi kenangan abadi, bahwa hidupku pernah melakoni ujian hidup agar aku tidak lupa pada sang khaliq dan selalu dekat pada-Nya.  Untuk menutupi bekas jahitan kepalaku maka aku tidak berani lagi potong rambut pendek. Alhamdulillah memoriku tidak terganggu dan dulu sering masuk angin sekarang menjadi sembuh. Rasanya serasa hidup kembali setelah melalui trauma sakit hingga kritis dan bedah craniotomy yang aku jalani.  Aku terus berharap mudah-mudahan ingatanku bertambah cemerlang setelah bedah kepala.

***

Published: flptegal@yahoo.co.id