By
Tofik Rocahadi
Setahun yang lalu anak kedua saya
minta uang untuk melunasi biaya study tour ke Jakarta sekitar Rp 689.000,- di selenggarakan oleh Salah satu SMP Vaforit di
kota Slawi, yang pada akhirnya menjadi pembicaraan orang karena dianggap
terlalu mahal dan hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Obyek lokasi tidak
lengkap hasil proses pembelajaran itu tidak begitu bermakna. Hari ini anak
pertama saya dari salah satu SMA vaforit di Slawi, lagi lagi minta angsuran
biaya study tour ke Bali dengan biaya Rp 790.000,- menurut rencana selama 5 hari termasuk
perjalanan. Bagi saya yang sebelumnya sering mengelola study tour di sekolah hal
ini wajar saja, karena merupakan agenda tahunan sekolah menyelenggarakan
program study tour bagi siswa kelas VIII (SMP) atau XI (SMA).
Setiap sekolah pasti sudah
pengalaman mengelola kegiatan ini, karena telah biasa semacam menjadi even organizer, tetapi ada juga yang
tidak mau repot menyerahkan pada biro perjalan wisata. Objek
wisata yang dipilih setiap tahun rata-rata tetap meskipun disebarkan angket sebelum
menentukan objek lokasi. Siswa SMP di Slawi kebanyakan memilih objek lokasi di
Jogjakarta (Borobudur, Parang tritis, Gembiraloka, Monumen Jogja kembali,
Kraton, Maloboro, Taman Pintar, Museum Dirgantara, dll). Lokasi di Jakarta (
Ancol, Taman Margasatwa Ragunan, TMII, Dunia Fantasi, Planetarium.dll), Wiasata
Jabar ( Taman safari Indonesia Bogor, Kawah Tangkuban Perahu, Air Panas Ciater,
Kebun Raya Bogor, Taman Buah Mekarsari Bogor dll). Jika sekolah tingakat atas
biasanya memilih Bali (Tanah Lot, Pantai Kuta, Garuda Wisnu Kencana (GWK),
Gunung dan Danau Batu, Ubud Desa Internasioanal, Pasar seni Sukowati, Pura
Besakih, Pantai Nusa Dua, Pantai Sanur, dll). Namun pada perkembangannya
benarkah sekolah mengelola sesuai dengan tujuan study tour?
Study tour sebenarnya bisa di
kategorikan sebagai metode pembelajaran yang berbentuk rekreasi. Metode
pembelajaran yang dibungkus dengan “proses” menyenangkan sehingga siswa
diharapkan mampu untuk mempelajari, berinteraksi dan menarik hikmah saat berada
di lokasi wisata.
Apabila ditilik lebih seksama study
tour juga sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 pasal 19, bahwa
proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif,
inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk
berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa,
kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan.
Tapi agaknya telah terjadi perubahan
makna study tour yang sebenarnya. Study tour yang seharusnya memiliki esensi
utama sebagai pembelajaran malah mengalami pergeseran menjadi kegiatan rekreasi
belaka. Study tour ialah satu metode pembelajaran dan sebagaimana metode
pembelajaran umumnya harus ada strategi, cara pembelajaran serta evaluasi demi
tercapainya kompetensi yang diharapkan akan didapatkan siswa setelah melalui
prosesnya. Tapi adakah kesemua hal itu dalam prakteknya sekarang?
Guru dan pihak sekolah sering kali
terlena dan melupakan hal tersebut. Bahkan pemilihan objek study tournya juga
seringlah meleset dari nilai pembelajaran yang seharusnya. Tidak lagi
mengutamakan ke sekolah-sekolah lain, museum, tempat atau objek dengan nilai
historis bersejarah atau tempat dimana bisa terjadi interaksi dan pembelajaran
maksimal siswa terhadap alam. Tentu saja semuanya harus dalam pantauan dan
arahan pihak sekolah dan guru yang ada. Jangan sampai yang terjadi hanyalah,
bersenang-senang, sibuk berbelanja, foto-foto atau malah sekedar hura-hura.
Selain itu, patut diingat bahwa
study tour bukanlah suatu metode yang harus bin wajib untuk dilaksanakan. Bahkan
bahasa kasarnya intimidasi studi tour sebagai syarat kelulusan, setiap siswa
dipersyaratkan membuat laporan study tour. Study tour hanyalah suatu pilihan
untuk melaksanakan pembelajaran dilapangan dan kalaupun dilaksanakan maka pihak
sekolah harus merancang koordinasi yang baik mencakup proses dan hasil yang
diharapkan. Memang study tour bisa meningkatkan keceriaan, nilai kekeluargaan,
mempererat jalinan silaturahmi antara sekolah, guru dan siswa. Tapi sebagaimana
esensi nilai yang terkandung dalam arti kata study tour, maka perlulah dikaji,
diawasi, dan dinilai. Apabila itu nilai-nilai tersebut sudah tidak ada, maka
sudah sepantasnya study tour ditiadakan dan mengganti namanya dengan plesiran
semata.
Saya lebih suka diganti dengan
istilah karya wisata. Mengapa? Karya wisata merupakan metode pembelajaran yaitu suatu pembelajaran yang dilakukan dengan jalan mengajak
anak-anak keluar kelas untuk dapat memperlihatkan hal-hal atau peristiwa yang
ada hubungannya dengan bahan pelajaran. Karya wisata dapat
memberi pengertian lebih jelas dengan alat peraga langsung, dapat membangkitkan
penghargaan dan cinta terhadap lingkungan dan tanah air, dan menghargai ciptaan
Tuhan, serta mendorong anak mengenal
lingkungan dengan baik. Tetapi Saran saya,
hendaknya tujuan pelajaran di rumuskan dengan jelas, hendaknya di
amati terlebih dahulu objek yang akan di
tuju, dan di jelaskan terlebih dahulu tujuan metode karya wisaya dan di siapkan
pertanyaan-pertanyaan yang harus mereka jawab. (H. Zuhairini, hal. 104-105).
Dengan demikian objek wisatapun harus ditentukan yang memberikan makna pembelajaran.
Dulu kita mengenal darma wisata yang
hanya menekankan rekreasi saja, bukan ini yang saya sarankan.
Jangan sampai terjadi menjadi
polemik yang lebih heboh, study tour ibarat anggota parlemen yang mengadakan
studi banding menghabiskan dana besar ternyata tidak ubahnya plesiran ke luar
negeri saja. Keluar konteks yang sesungguhnya. Tahukah anda, belum selesai polemik yang melanda DPR mengenai
kenaikan BBM, beberapa anggota Komisi I DPR berencana akan melakukan kunjungan
kerja ke empat negara saat masa reses pertengahan bulan Maret lalu. Empat
negara yang akan disinggahi komisi pengawasan bidang keamanan dan luar negeri
itu adalah Ceko, Polandia, Jerman dan Afrika Selatan. Apa komentar Anda?