Jumat, 06 April 2012

PERLUKAH STUDY TOUR



By Tofik Rocahadi

Setahun yang lalu anak kedua saya minta uang untuk melunasi biaya study tour ke Jakarta sekitar Rp 689.000,-  di selenggarakan oleh Salah satu SMP Vaforit di kota Slawi, yang pada akhirnya menjadi pembicaraan orang karena dianggap terlalu mahal dan hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Obyek lokasi tidak lengkap hasil proses pembelajaran itu tidak begitu bermakna. Hari ini anak pertama saya dari salah satu SMA vaforit di Slawi, lagi lagi minta angsuran biaya study tour ke Bali dengan biaya Rp 790.000,-  menurut rencana selama 5 hari termasuk perjalanan. Bagi saya yang sebelumnya sering mengelola study tour di sekolah hal ini wajar saja, karena merupakan agenda tahunan sekolah menyelenggarakan program study tour bagi siswa kelas VIII (SMP) atau XI (SMA).
Setiap sekolah pasti sudah pengalaman mengelola kegiatan ini, karena telah biasa semacam menjadi even organizer, tetapi ada juga yang tidak mau repot menyerahkan pada biro perjalan wisata.  Objek wisata yang dipilih setiap tahun rata-rata tetap meskipun disebarkan angket sebelum menentukan objek lokasi. Siswa SMP di Slawi kebanyakan memilih objek lokasi di Jogjakarta (Borobudur, Parang tritis, Gembiraloka, Monumen Jogja kembali, Kraton, Maloboro, Taman Pintar, Museum Dirgantara, dll). Lokasi di Jakarta ( Ancol, Taman Margasatwa Ragunan, TMII, Dunia Fantasi, Planetarium.dll), Wiasata Jabar ( Taman safari Indonesia Bogor, Kawah Tangkuban Perahu, Air Panas Ciater, Kebun Raya Bogor, Taman Buah Mekarsari Bogor dll). Jika sekolah tingakat atas biasanya memilih Bali (Tanah Lot, Pantai Kuta, Garuda Wisnu Kencana (GWK), Gunung dan Danau Batu, Ubud Desa Internasioanal, Pasar seni Sukowati, Pura Besakih, Pantai Nusa Dua, Pantai Sanur, dll). Namun pada perkembangannya benarkah sekolah mengelola sesuai dengan tujuan study tour?
Study tour sebenarnya bisa di kategorikan sebagai metode pembelajaran yang berbentuk rekreasi. Metode pembelajaran yang dibungkus dengan “proses” menyenangkan sehingga siswa diharapkan mampu untuk mempelajari, berinteraksi dan menarik hikmah saat berada di lokasi wisata.
Apabila ditilik lebih seksama study tour juga sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 pasal 19, bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan.
Tapi agaknya telah terjadi perubahan makna study tour yang sebenarnya. Study tour yang seharusnya memiliki esensi utama sebagai pembelajaran malah mengalami pergeseran menjadi kegiatan rekreasi belaka. Study tour ialah satu metode pembelajaran dan sebagaimana metode pembelajaran umumnya harus ada strategi, cara pembelajaran serta evaluasi demi tercapainya kompetensi yang diharapkan akan didapatkan siswa setelah melalui prosesnya. Tapi adakah kesemua hal itu dalam prakteknya sekarang?
Guru dan pihak sekolah sering kali terlena dan melupakan hal tersebut. Bahkan pemilihan objek study tournya juga seringlah meleset dari nilai pembelajaran yang seharusnya. Tidak lagi mengutamakan ke sekolah-sekolah lain, museum, tempat atau objek dengan nilai historis bersejarah atau tempat dimana bisa terjadi interaksi dan pembelajaran maksimal siswa terhadap alam. Tentu saja semuanya harus dalam pantauan dan arahan pihak sekolah dan guru yang ada. Jangan sampai yang terjadi hanyalah, bersenang-senang, sibuk berbelanja, foto-foto atau malah sekedar hura-hura.
Selain itu, patut diingat bahwa study tour bukanlah suatu metode yang harus bin wajib untuk dilaksanakan. Bahkan bahasa kasarnya intimidasi studi tour sebagai syarat kelulusan, setiap siswa dipersyaratkan membuat laporan study tour. Study tour hanyalah suatu pilihan untuk melaksanakan pembelajaran dilapangan dan kalaupun dilaksanakan maka pihak sekolah harus merancang koordinasi yang baik mencakup proses dan hasil yang diharapkan. Memang study tour bisa meningkatkan keceriaan, nilai kekeluargaan, mempererat jalinan silaturahmi antara sekolah, guru dan siswa. Tapi sebagaimana esensi nilai yang terkandung dalam arti kata study tour, maka perlulah dikaji, diawasi, dan dinilai. Apabila itu nilai-nilai tersebut sudah tidak ada, maka sudah sepantasnya study tour ditiadakan dan mengganti namanya dengan plesiran  semata.
Saya lebih suka diganti dengan istilah karya wisata.  Mengapa? Karya wisata merupakan metode pembelajaran  yaitu suatu pembelajaran  yang dilakukan dengan jalan mengajak anak-anak keluar kelas untuk dapat memperlihatkan hal-hal atau peristiwa yang ada hubungannya dengan bahan pelajaran. Karya wisata  dapat  memberi pengertian lebih jelas dengan alat peraga langsung, dapat membangkitkan penghargaan dan cinta terhadap lingkungan dan tanah air, dan menghargai ciptaan Tuhan, serta  mendorong anak mengenal lingkungan dengan baik. Tetapi Saran saya,  hendaknya tujuan pelajaran di rumuskan dengan jelas, hendaknya di amati  terlebih dahulu objek yang akan di tuju, dan di jelaskan terlebih dahulu tujuan metode karya wisaya dan di siapkan pertanyaan-pertanyaan yang harus mereka jawab. (H. Zuhairini, hal. 104-105). Dengan demikian objek wisatapun harus ditentukan yang memberikan makna pembelajaran. Dulu kita mengenal darma wisata yang hanya menekankan rekreasi saja, bukan ini yang saya sarankan.
Jangan sampai terjadi menjadi polemik yang lebih heboh, study tour ibarat anggota parlemen yang mengadakan studi banding menghabiskan dana besar ternyata tidak ubahnya plesiran ke luar negeri saja. Keluar konteks yang sesungguhnya. Tahukah anda, belum selesai polemik yang melanda DPR mengenai kenaikan BBM, beberapa anggota Komisi I DPR berencana akan melakukan kunjungan kerja ke empat negara saat masa reses pertengahan bulan Maret lalu. Empat negara yang akan disinggahi komisi pengawasan bidang keamanan dan luar negeri itu adalah Ceko, Polandia, Jerman dan Afrika Selatan. Apa komentar Anda?

PERLUKAH STUDY TOUR


By Tofik Rocahadi

Setahun yang lalu anak kedua saya minta uang untuk melunasi biaya study tour ke Jakarta sekitar Rp 689.000,-  di selenggarakan di Salah satu SMP Vaforit di kota Slawi, yang pada akhirnya menjadi pembicaraan orang karena dianggap terlalu mahal dan hasilnya tidak seperti yang diharapkan. Obyek lokasi tidak lengkap hasil proses pembelajaran itu tidak begitu bermakna. Hari ini anak pertama saya dari salah satu SMA vaforit di Slawi, lagi lagi minta angsuran biaya study tour ke Bali dengan biaya Rp 790.000,-  menurut rencana selama 4 hari termasuk perjalanan. Bagi saya yang sebelumnya sering mengelola study tour di sekolah hal ini wajar saja, karena merupakan agenda tahunan sekolah menyelenggarakan program study tour bagi siswa kelas VIII (SMP) atau XI (SMA).
Setiap sekolah pasti sudah pengalaman mengelola kegiatan ini, karena telah biasa semacam menjadi even organizer, tetapi ada juga yang tidak mau repot menyerahkan pada biro perjalan wisata. Sering terjadi objek wisata setiap tahun rata-rata tetap meskipun disebarkan angket sebelum menentukan objek lokasi. Siswa SMP di Slawi kebanyakan memilih objek lokasi di Jogjakarta (Borobudur, Parang tritis, Gembiraloka, Monumen Jogja kembali, Kraton, Maloboro, Taman Pintar, Museum Dirgantara, dll). Lokasi di Jakarta ( Ancol, Taman Margasatwa Ragunan, TMII, Dunia Fantasi, Planetarium.dll), Wiasata Jabar ( Taman safari Indonesia Bogor, Kawah Tangkuban Perahu, Air Panas Ciater, Kebun Raya Bogor, Taman Buah Mekarsari Bogor dll). Jika sekolah tingakat atas biasanya memilih Bali (Tanah Lot, Pantai Kuta, Garuda Wisnu Kencana (GWK), Gunung dan Danau Batu, Ubud Desa Internasioanal, Pasar seni Sukowati, Pura Besakih, Pantai Nusa Dua, Pantai Sanur, dll). Namun pada perkembangannya benarkah sekolah mengelola sesuai dengan tujuan study tour?
Study tour sebenarnya bisa di kategorikan sebagai metode pembelajaran yang berbentuk rekreasi. Metode pembelajaran yang dibungkus dengan “proses” menyenangkan sehingga siswa diharapkan mampu untuk mempelajari, berinteraksi dan menarik hikmah saat berada di lokasi wisata.
Apabila ditilik lebih seksama study tour juga sesuai dengan Peraturan Pemerintah No 19 tahun 2005 pasal 19, bahwa proses pembelajaran pada satuan pendidikan diselenggarakan secara interaktif, inspiratif, menyenangkan, menantang, memotivasi peserta didik untuk berpartisipasi aktif serta memberikan ruang yang cukup bagi prakarsa, kreativitas, dan kemandirian sesuai dengan bakat, minat dan perkembangan.
Tapi agaknya telah terjadi perubahan makna study tour yang sebenarnya. Study tour yang seharusnya memiliki esensi utama sebagai pembelajaran malah mengalami pergeseran menjadi kegiatan rekreasi belaka. Study tour ialah satu metode pembelajaran dan sebagaimana metode pembelajaran umumnya harus ada strategi, cara pembelajaran serta evaluasi demi tercapainya kompetensi yang diharapkan akan didapatkan siswa setelah melalui prosesnya. Tapi adakah kesemua hal itu dalam prakteknya sekarang?
Guru dan pihak sekolah sering kali terlena dan melupakan hal tersebut. Bahkan pemilihan objek study tournya juga seringlah meleset dari nilai pembelajaran yang seharusnya. Tidak lagi mengutamakan ke sekolah-sekolah lain, museum, tempat atau objek dengan nilai historis bersejarah atau tempat dimana bisa terjadi interaksi dan pembelajaran maksimal siswa terhadap alam. Tentu saja semuanya harus dalam pantauan dan arahan pihak sekolah dan guru yang ada. Jangan sampai yang terjadi hanyalah, bersenang-senang, sibuk berbelanja, foto-foto atau malah sekedar hura-hura.
Selain itu, patut diingat bahwa study tour bukanlah suatu metode yang harus bin wajib untuk dilaksanakan. Bahkan bahasa kasarnya intimidasi studi tour sebagai syarat kelulusan, setiap siswa dipersyaratkan membuat laporan study tour. Study tour hanyalah suatu pilihan untuk melaksanakan pembelajaran dilapangan dan kalaupun dilaksanakan maka pihak sekolah harus merancang koordinasi yang baik mencakup proses dan hasil yang diharapkan. Memang study tour bisa meningkatkan keceriaan, nilai kekeluargaan, mempererat jalinan silaturahmi antara sekolah, guru dan siswa. Tapi sebagaimana esensi nilai yang terkandung dalam arti kata STUDY TOUR, maka perlulah dikaji, diawasi, dan dinilai. Apabila itu nilai-nilai tersebut sudah tidak ada, maka sudah sepantasnya study tour ditiadakan dan mengganti namanya dengan PLESIRAN semata.
Saya lebih suka diganti dengan istilah karya wisata.  Mengapa? Karya wisata merupakan metode pembelajaran  yaitu suatu pembelajaran  yang di lakukan dengan jalan mengajak anak-anak keluar kelas untuk dapat memperlihatkan hal-hal atau peristiwa yang ada hubungannya dengan bahan pelajaran. Karya wisata  dapat  memberi pengertian lebih jelas dengan alat peraga langsung, dapat membangkitkan penghargaan dan cinta terhadap lingkungan dan tanah air, dan menghargai ciptaan Tuhan, serta  mendorong anak mengenal lingkungan dengan baik. Tetapi Saran saya,  hendaknya tujuan pelajaran di rumuskan dengan jelas, hendaknya di amati  terlebih dahulu objek yang akan di tuju, dan di jelaskan terlebih dahulu tujuan metode karya wisaya dan di siapkan pertanyaan-pertanyaan yang harus mereka jawab. (H. Zuhairini, hal. 104-105). Dengan demikian objek wisatapun harus ditentukan yang memberikan makna pembelajaran. Dulu kita mengenal darma wisata yang hanya menekankan rekreasi saja, bukan ini yang saya sarankan.
Jangan sampai terjadi menjadi polemik yang lebih heboh study tour ibarat anggota parlemen yang mengadakan studi banding menghabiskan dana besar ternyata tidak ubahnya plesiran ke luar negeri saja. Keluar konteks yang sesungguhnya. Tahukah anda, belum selesai polemik yang melanda DPR mengenai kenaikan BBM, beberapa anggota Komisi I DPR berencana akan melakukan kunjungan kerja ke empat negara saat masa reses pertengahan bulan Maret lalu. Empat negara yang akan disinggahi komisi pengawasan bidang keamanan dan luar negeri itu adalah Ceko, Polandia, Jerman dan Afrika Selatan. Apa komentar Anda?