http://www.leutikaprio.com/produk/110211/motivasi_dan_pengembangan_diri/1201407/cinta_membaca/11051146/puput_happy
Oleh:
Tofik Rochadi
Lima tahun yang lalu saya
bertemu penyair Taufik Ismail di Gedung KORPRI Slawi.
Beliau menyatakan dalam penelitiannya bahwa
anak-anak sekolah Indonesia nol (0) membaca karya sastra. Finlandia dan Jepang
dua diantara negara-negara yang masyarakatnya memiliki minat baca tinggi. Usai
memberi materi seminar, saya bertanya bagaimana mengatasi hal itu, kata beliau
dimulai dari diri sendiri. Saya terhenyak sebagai salah satu komunitas
Musyawarah Guru Mapel Bahasa Indonesia, merasa tertampar.
Meski setumpuk buku
atau artikel teori tentang meningkatkan minat membaca sudah diterbitkan, dipajang gagah di
toko buku
yang berarti juga bisa diakses masyarakat– namun kenyataannya buku
atau artikel teori tersebut belum
sepenuhnya mampu menggerakkan semangat membaca masyarakat. Sungguh benar untuk menghardik rasa malas agar cinta membaca justru
harus dimulai dari kita sendiri.
Belajar selalu identik dengan membaca. Membaca selalu berhubungan dengan
bertambahnya pengetahuan, sikap, dan ketrampilan. Persoalannya, kualitas
membaca masyarakat juga siswa dan mahasiswa kita teramat rendah. Survai yang
dilakukan oleh International Education Achievement (IEA) awal 2000,
menunjukkan bahwa rangking kualitas membaca anak–anak sekolah kita menduduki
urutan ke-29 dari 31 negara yang diteliti di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika.
Persetan dengan kondisi buruk ini. Kita berpikir, apapun potret kita toh kita
ada di dalamnya, untuk mengubahnya tentu
dimulai dari diri sendiri (ibda’ bi nafsi),
kapan memulainya? Ya dari sekarang, dari mana? Ya memulainya dari sini.
Lakukan! Kita perlu otak kanan, untuk melakukan ini. Sekecil
apapun yang kita lakukan saya yakin akan memberikan manfaat. Dimulai dari
keluarga. Dalam buku Make Everything Well,
khususnya bab “Menciptakan Keluarga Sukses” (2005), Mustofa W Hasyim
menganjurkan agar tiap keluarga memiliki perpustakaan keluarga, sehingga perpustakaan bisa dijadikan sebagai
tempat yang menyenangkan ketika berkumpul bersama istri dan anak-anak.
Inilah hal sederhana yang dilakukan. Sudut ruang di ruang
tengah sekarang sudah diletakkan rak buku, rak buku itu bersusun lima jenjang,
setiap jenjang diisi dengan buku-buku dengan Klasifikasi Desimal Dewey (Dewey Decimal Classification (DDC)-- penataan
seperti perpustakaan umumnya-- inilah yang akhirnya kami sebut perpustakaan
keluarga. Perpustakaan mini ini bermanfaat sekali untuk menyimpan koleksi buku
keluarga. Agar bertambah setiap bulan kami menyisihkan anggaran sebagai uang
belanja bulanan untuk membeli buku. Kami
biasakan setiap minggu pertama pergi ke toko buku sekaligus rekreasi, anak-anak
diberi kebebasan untuk memilih buku yang disukai. Tentu saja kami menyesuaikan
dengan jumlah anggaran. Kliping dari koran bekas bagian kecil untuk menambah
koleksi, ini dilakukan pada hari minggu atau saat ada waktu senggang. Anak-anak
tetangga yang bermain ke rumah diajak serta untuk meramaikan membaca di perpustakaan keluarga.
Setiap anggota keluarga kami
memiliki kartu perpustakaan daerah. Hanya saja waktu kunjung terbatas di luar
jam belajar, kisaran jam 13.30 s.d. 17.00 WIB. Keuntungan membaca di perpusda,
koleksi bacaan lebih banyak dari pada yang dimiliki di rumah. Dengan memiliki
kartu anggota lebih leluasa untuk berkunjung dan meminjam buku di perpustakaan.
Penambahan materi bacaan dengan mengumpulkan file buku, artikel, cerpen,
novel, karya tulis dll. dalam folder selanjutnya kami namai Perpustakaan Digital.
Agar lebih lengkap, juga disambungkan online untuk akses internet. Jangan
kaget. Setting tempat duduk depan televisi tidak terlalu strategis ini sengaja agar membatasi kenyamanan menonton
TV. Inilah salah satu upaya mengurangi durasi budaya virtual. Ada pepatah “bisa
karena biasa” , pepatah inilah yang menguatkan keluarga untuk membiasakan
membaca setiap harinya.
Menyitir pendapat Bambang Sadono, kita ibarat poci. Poci akan bisa kita
tuang tergantung diisi apa. Jika terisi banyak maka akan mengucur dengan mudah.
Inilah prinsip keluarga untuk selalu membaca, dan menuangkan dalam bentuk
tulisan. Ada istilah don’t write if you
don’t read. Dimulailah membuat tulisan berupa surat, artikel, berita,
cerpen dan opini. Dimuat di media cetak bagi keluarga sebuah kebanggaan dengan
demikian terungkitlah motivasi membaca karena merupakan kebutuhan.
Terinspirasi negeri Jepang program
20 Minutes Reading of Mother and Child, kita juga mencoba untuk mengaplikasikan.
Anak dibacakan buku dari perpustakaan sekolah atau umum, 20 menit menjelang
tidur. Pengalaman yang terjadi jika buku tersebut belum tuntas dibaca maka
minta malam berikutnya disambung, kita bisa mengarahkan agar anak membaca
sendiri kelanjutannya.
Anak kecil lebih suka pada buku berwarna, seperti buku serial Child Crowing Up terbitan Sesame Street,
cerita bergambar atau buku hard cover. Karena itu jika ke perpustakaan kita bebaskan mereka memilih buku yang disukai. Demikian juga setiap jalan-jalan ke
toko buku. Variasi lain kita juga mendukung adanya Taman Baca Masyarakat (TBM) yang
dikelola tokoh masyarakat. Kebetulan dekat rumah ada Rumah Baca Asma Nadia
(RBA). Anak-anak kita libatkan di sana.
Di sini kita membiasakan memberi hadiah ulang tahun atau parcel buku.
Ternyata tanggapan penerima kebanyakan berkesan. Apalagi buku yang kita
hadiahkan buku best seller,
setidaknya buku edisi baru atau populer.
Suatu pembiasan yang dilakukan adalah membawa buku, majalah setiap
bepergian, sikap ini ternyata menjadikan terbiasa menaruh buku bacaan pada
dasbor/ kantong jok mobil, sehingga sewaktu-waktu bisa kita dapatkan untuk
mengisi serpihan waktu.
Data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2003 dapat
dijadikan gambaran bagaimana minat baca bangsa Indonesia. Data itu
menggambarkan bahwa penduduk Indonesia berumur di atas 15 tahun yang membaca
koran pada hari minggu hanya 55,11 persen. Sedangkan yang membaca majalah atau
tabloid hanya 29,22 persen, buku cerita 16,72 persen, buku pelajaran sekolah
44.28 %, dan yang membaca buku ilmu pengetahuan lainnya hanya 21,07 persen. Data
BPS lainnya juga menunjukkan bahwa penduduk Indonesia belum menjadikan membaca
sebagai informasi. Orang lebih memilih televisi dan mendengarkan radio. Budaya kita masih tradisi lisan (kultur lisan). Tradisi tulis (kultur aksara) kita belum tampak. Apalagi sekarang muncul kekuatan TV (kultur
virtual). Data BPS 2006 menunjukkan bahwa orang Indonesia
yang membaca untuk mendapatkan informasi baru 23,5 persen dari total penduduk.
Sedangkan, dengan menonton televisi sebanyak 85,9 persen dan mendengarkan radio
sebesar 40,3 persen. (www.bps.go.id). Dari hasil penelitian tersebut, kondisi minat baca Indonesia sangat memprihatinkan. Inilah
saatnya untuk mengikis hal ini dimulai dari kita, sekarang dan dari sini.
Tentu saja kita tidak boleh sinis berkomentar terhadap persoalan ini.
Iklim kondusif minat membaca siswa harus
kita pelihara ketika kita memahami bahwa para gurulah sosok yang
paling mengerti dan memahami kondisi anak-didik di lapangan. Kemampuan membaca
(reading literacy) anak adalah sumbangsih
dari guru. Dimulai dari guru kita menggeliatkan siswa cinta membaca.
Bagaimana minat baca masyarakat? Minimnya minat baca diakibatkan beberapa
kendala, dan bisa diperbaiki dari sini. Kendala tersebut mulai dari
ketersediaan sarana buku yang dapat dibaca, kondisi perpustakaan-perpustakaan
terutama yang dikelola oleh pemerintah yang kurang menarik untuk dikunjungi
masyarakat, hingga hambatan lain berupa rendahnya political will pemerintah
dalam memajukan pendidikan melalui upaya peningkatan minat baca. Atau mungkin
saja ketersediaan waktu masyarakat yang sedikit untuk membaca akibat dari
padatnya kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar sehari-hari. Yang jelas kenyataan
menunjukkan bahwa kebutuhan perut harus tercukupi dulu baru kebutuhan pemenuhan
bahan bacaan.Ya, kemungkinan-kemungkinan itu, sementara bisa benar adanya
karena secara kasat mata kita bisa menyaksikan hal demikian mudah ditemui
dimana-mana.
Bisa juga dilakukan dari sini. Perluasan jangkauan layanan perpustakaan,
baik melalui perpustakaan menetap atau perpustakaan mobil keliling di
pusat-pusat kegiatan masyarakat desa, RW/RT secara merata dan berkesinambungan
akan dapat menjadikan masyarakat membaca (reading
society). Semakin besar peluang masyarakat untuk membaca melalui fasilitas
yang tersebar luas, semakin besar pula stimulus membaca sesama warga
masyarakat. Kita dukung Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) bekerja sama dengan
Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI)
dan Perpustakaan Nasional Indonesia sedang menyusun rancangan besar minat dan
menuju budaya baca. IKAPI juga menggulirkan perpustakaan bergilir. Perpustakaan
bergilir adalah satu konsep bahwa judul buku di satu kelurahan itu berbeda
untuk setiap RT (Rukun Tetangga). Jadi setiap dua bulan akan berputar ke RT
lain dengan judul yang lain.………
Membaca
menurut Gleen Doman (1991 : 19) dalam bukunya How to Teach Your Baby to Read menyatakan bahwa membaca merupakan salah satu
fungsi yang paling penting dalam hidup. Semua proses belajar didasarkan pada
kemampuan membaca. Selanjutnya melalui budaya masyarakat membaca kita akan
melangkah menuju masyarakat belajar (learning
society). Prinsip belajar dalam abad 21 menurut UNESCO (1996) harus didasarkan pada empat pilar yaitu : 1) learning to thing – belajar berpikir ;
2) learning to do -- belajar
berbuat ; 3) learning to be -- belajar
untuk tetap hidup, dan 4) learning to
live together -- yaitu belajar hidup bersama antar bangsa. Berangkat dari
terwujudnya masyarakat belajar (learning
society) maka akan mencapai bangsa yang cerdas (educated nation) sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945
menuju masyarakat Madani (Civil Society) Baldatun
Thayibatun Wa Rabbun Ghafuur. Dimulai dari mana? Dari sini dan dari
sekarang.