Senin, 09 April 2012

MEMBACA: DARI SINI DAN DARI SEKARANG



http://www.leutikaprio.com/produk/110211/motivasi_dan_pengembangan_diri/1201407/cinta_membaca/11051146/puput_happy
Oleh: Tofik Rochadi

Lima tahun yang lalu saya bertemu penyair Taufik Ismail di Gedung KORPRI Slawi.
Beliau  menyatakan dalam penelitiannya bahwa anak-anak sekolah Indonesia nol (0) membaca karya sastra. Finlandia dan Jepang dua diantara negara-negara yang masyarakatnya memiliki minat baca tinggi. Usai memberi materi seminar, saya bertanya bagaimana mengatasi hal itu, kata beliau dimulai dari diri sendiri. Saya terhenyak sebagai salah satu komunitas Musyawarah Guru Mapel Bahasa Indonesia, merasa tertampar.
Meski setumpuk buku atau artikel teori tentang meningkatkan minat  membaca sudah diterbitkan, dipajang gagah di toko buku yang berarti juga bisa diakses masyarakat– namun kenyataannya buku atau artikel  teori tersebut belum sepenuhnya mampu menggerakkan semangat membaca masyarakat. Sungguh benar untuk menghardik rasa malas agar cinta membaca justru harus dimulai dari kita sendiri.
Belajar selalu identik dengan membaca. Membaca selalu berhubungan dengan bertambahnya pengetahuan, sikap, dan ketrampilan. Persoalannya, kualitas membaca masyarakat juga siswa dan mahasiswa kita teramat rendah. Survai yang dilakukan oleh International Education Achievement (IEA) awal 2000, menunjukkan bahwa rangking kualitas membaca anak–anak sekolah kita menduduki urutan ke-29 dari 31 negara yang diteliti di Asia, Afrika, Eropa dan Amerika. Persetan dengan kondisi buruk ini. Kita berpikir, apapun potret kita toh kita ada di dalamnya, untuk mengubahnya  tentu dimulai dari diri sendiri (ibda’ bi nafsi), kapan memulainya? Ya dari sekarang, dari mana? Ya memulainya dari sini.
Lakukan! Kita perlu otak kanan, untuk melakukan ini. Sekecil apapun yang kita lakukan saya yakin akan memberikan manfaat. Dimulai dari keluarga. Dalam buku Make Everything Well, khususnya bab “Menciptakan Keluarga Sukses” (2005), Mustofa W Hasyim menganjurkan agar tiap keluarga memiliki perpustakaan keluarga,  sehingga perpustakaan bisa dijadikan sebagai tempat yang menyenangkan ketika berkumpul bersama istri dan anak-anak.
Inilah hal sederhana yang dilakukan. Sudut ruang di ruang tengah sekarang sudah diletakkan rak buku, rak buku itu bersusun lima jenjang, setiap jenjang diisi dengan buku-buku dengan Klasifikasi Desimal Dewey (Dewey Decimal Classification (DDC)-- penataan seperti perpustakaan umumnya-- inilah yang akhirnya kami sebut perpustakaan keluarga. Perpustakaan mini ini bermanfaat sekali untuk menyimpan koleksi buku keluarga. Agar bertambah setiap bulan kami menyisihkan anggaran sebagai uang belanja bulanan untuk membeli buku.  Kami biasakan setiap minggu pertama pergi ke toko buku sekaligus rekreasi, anak-anak diberi kebebasan untuk memilih buku yang disukai. Tentu saja kami menyesuaikan dengan jumlah anggaran. Kliping dari koran bekas bagian kecil untuk menambah koleksi, ini dilakukan pada hari minggu atau saat ada waktu senggang. Anak-anak  tetangga yang bermain ke rumah diajak serta  untuk meramaikan membaca di perpustakaan keluarga.
            Setiap anggota keluarga kami memiliki kartu perpustakaan daerah. Hanya saja waktu kunjung terbatas di luar jam belajar, kisaran jam 13.30 s.d. 17.00 WIB. Keuntungan membaca di perpusda, koleksi bacaan lebih banyak dari pada yang dimiliki di rumah. Dengan memiliki kartu anggota lebih leluasa untuk berkunjung dan meminjam buku di perpustakaan.
            Penambahan materi bacaan dengan  mengumpulkan file buku, artikel, cerpen, novel, karya tulis dll. dalam folder selanjutnya kami namai Perpustakaan Digital. Agar lebih lengkap, juga disambungkan online untuk akses internet. Jangan kaget. Setting tempat duduk depan televisi tidak terlalu strategis  ini sengaja agar membatasi kenyamanan menonton TV. Inilah salah satu upaya mengurangi durasi budaya virtual. Ada pepatah “bisa karena biasa” , pepatah inilah yang menguatkan keluarga untuk membiasakan membaca setiap harinya.
Menyitir pendapat Bambang Sadono, kita ibarat poci. Poci akan bisa kita tuang tergantung diisi apa. Jika terisi banyak maka akan mengucur dengan mudah. Inilah prinsip keluarga untuk selalu membaca, dan menuangkan dalam bentuk tulisan. Ada istilah don’t write if you don’t read. Dimulailah membuat tulisan berupa surat, artikel, berita, cerpen dan opini. Dimuat di media cetak bagi keluarga sebuah kebanggaan dengan demikian terungkitlah motivasi membaca karena merupakan kebutuhan.
Terinspirasi negeri Jepang program 20 Minutes Reading of Mother and Child, kita juga mencoba untuk mengaplikasikan. Anak dibacakan buku dari perpustakaan sekolah atau umum, 20 menit menjelang tidur. Pengalaman yang terjadi jika buku tersebut belum tuntas dibaca maka minta malam berikutnya disambung, kita bisa mengarahkan agar anak membaca sendiri kelanjutannya.
Anak kecil lebih suka pada buku berwarna, seperti buku serial Child Crowing Up terbitan Sesame Street, cerita bergambar atau buku hard cover. Karena itu jika ke perpustakaan  kita bebaskan mereka memilih buku yang  disukai. Demikian juga setiap jalan-jalan ke toko buku. Variasi lain kita juga mendukung adanya Taman Baca Masyarakat (TBM) yang dikelola tokoh masyarakat. Kebetulan dekat rumah ada Rumah Baca Asma Nadia (RBA). Anak-anak kita libatkan di sana.
Di sini kita membiasakan memberi hadiah ulang tahun atau parcel buku. Ternyata tanggapan penerima kebanyakan berkesan. Apalagi buku yang kita hadiahkan buku best seller, setidaknya buku edisi baru atau populer.
Suatu pembiasan yang dilakukan adalah membawa buku, majalah setiap bepergian, sikap ini ternyata menjadikan terbiasa menaruh buku bacaan pada dasbor/ kantong jok mobil, sehingga sewaktu-waktu bisa kita dapatkan untuk mengisi serpihan waktu.
Data yang dikeluarkan Badan Pusat Statistik (BPS) pada 2003 dapat dijadikan gambaran bagaimana minat baca bangsa Indonesia. Data itu menggambarkan bahwa penduduk Indonesia berumur di atas 15 tahun yang membaca koran pada hari minggu hanya 55,11 persen. Sedangkan yang membaca majalah atau tabloid hanya 29,22 persen, buku cerita 16,72 persen, buku pelajaran sekolah 44.28 %, dan yang membaca buku ilmu pengetahuan lainnya hanya 21,07 persen. Data BPS lainnya juga menunjukkan bahwa penduduk Indonesia belum menjadikan membaca sebagai informasi. Orang lebih memilih televisi dan mendengarkan radio. Budaya kita masih tradisi lisan (kultur lisan). Tradisi tulis (kultur aksara) kita belum tampak. Apalagi sekarang muncul kekuatan TV (kultur virtual). Data  BPS 2006 menunjukkan bahwa orang Indonesia yang membaca untuk mendapatkan informasi baru 23,5 persen dari total penduduk. Sedangkan, dengan menonton televisi sebanyak 85,9 persen dan mendengarkan radio sebesar 40,3 persen. (www.bps.go.id). Dari hasil penelitian tersebut, kondisi minat baca  Indonesia sangat memprihatinkan. Inilah saatnya untuk mengikis hal ini dimulai dari kita, sekarang dan dari sini.
Tentu saja kita tidak boleh sinis berkomentar terhadap persoalan ini. Iklim kondusif minat membaca siswa  harus kita pelihara ketika kita memahami bahwa para gurulah sosok yang paling mengerti dan memahami kondisi anak-didik di lapangan. Kemampuan membaca (reading literacy) anak adalah sumbangsih dari guru. Dimulai dari guru kita menggeliatkan siswa cinta membaca.
Bagaimana minat baca masyarakat? Minimnya minat baca diakibatkan beberapa kendala, dan bisa diperbaiki dari sini. Kendala tersebut mulai dari ketersediaan sarana buku yang dapat dibaca, kondisi perpustakaan-perpustakaan terutama yang dikelola oleh pemerintah yang kurang menarik untuk dikunjungi masyarakat, hingga hambatan lain berupa rendahnya political will pemerintah dalam memajukan pendidikan melalui upaya peningkatan minat baca. Atau mungkin saja ketersediaan waktu masyarakat yang sedikit untuk membaca akibat dari padatnya kegiatan untuk memenuhi kebutuhan hidup dasar sehari-hari. Yang jelas kenyataan menunjukkan bahwa kebutuhan perut harus tercukupi dulu baru kebutuhan pemenuhan bahan bacaan.Ya, kemungkinan-kemungkinan itu, sementara bisa benar adanya karena secara kasat mata kita bisa menyaksikan hal demikian mudah ditemui dimana-mana.
Bisa juga dilakukan dari sini. Perluasan jangkauan layanan perpustakaan, baik melalui perpustakaan menetap atau perpustakaan mobil keliling di pusat-pusat kegiatan masyarakat desa, RW/RT secara merata dan berkesinambungan akan dapat menjadikan masyarakat membaca (reading society). Semakin besar peluang masyarakat untuk membaca melalui fasilitas yang tersebar luas, semakin besar pula stimulus membaca sesama warga masyarakat. Kita dukung Ikatan Penerbit Indonesia (IKAPI) bekerja sama dengan Persatuan Wartawan Indonesia (PWI), Persatuan Guru Republik Indonesia (PGRI) dan Perpustakaan Nasional Indonesia sedang menyusun rancangan besar minat dan menuju budaya baca. IKAPI juga menggulirkan perpustakaan bergilir. Perpustakaan bergilir adalah satu konsep bahwa judul buku di satu kelurahan itu berbeda untuk setiap RT (Rukun Tetangga). Jadi setiap dua bulan akan berputar ke RT lain dengan judul yang lain.………
      Membaca menurut Gleen Doman (1991 : 19) dalam bukunya How to Teach Your Baby to Read  menyatakan bahwa membaca merupakan salah satu fungsi yang paling penting dalam hidup. Semua proses belajar didasarkan pada kemampuan membaca. Selanjutnya melalui budaya masyarakat membaca kita akan melangkah menuju masyarakat belajar (learning society). Prinsip belajar dalam abad 21 menurut UNESCO (1996)  harus didasarkan pada empat pilar yaitu : 1) learning to thing – belajar berpikir ; 2) learning to do -- belajar berbuat  ; 3) learning to be --  belajar untuk tetap hidup, dan 4) learning to live together -- yaitu belajar hidup bersama antar bangsa. Berangkat dari terwujudnya masyarakat belajar (learning society) maka akan mencapai bangsa yang cerdas (educated nation) sesuai dengan amanat Undang-Undang Dasar 1945 menuju masyarakat Madani (Civil Society) Baldatun Thayibatun Wa Rabbun Ghafuur. Dimulai dari mana? Dari sini dan dari sekarang.

Membumikan Kejujuran






By Tofik Rochadi

Awal bulan Maret 2012 tepatnya hari Sabtu, 10 Maret 2012 menteri Pendidikan Nasional  Prof.Dr.Ir. Mohammad Nuh  mendarat di lapangan Tri Sanja Slawi menggunakan helikopter, lalu menuju pendopo kabuapten Tegal. Acara utama adalah pencanangan Ikrar Ujian Nasional Jujur dan Berprestasi, serta Pendidikan Anti Korupsi. Hal ini sebelumnya Dinas Dikpora pada hari Selasa (06/3), bertempat di pendopo Ki Gede Sebayu menyelenggarakan pembacaan ikrar pelaksanaan ujian nasional jujur dan berprestasi serta pendidikan anti korupsi Kabupaten Tegal Tahun 2012 bersama Siswa, Guru, Kepala Sekolah dan Komite Sekolah, Dewan Pendidikan Kabupaten Tegal, Wakil Bupati dan DPRD Kabupaten Tegal. Bunyi ikrar tersebut adalah "Membangun budaya pembelajaran berdasarkan ajaran agama dan nilai-nilai utama karakter bangsa yaitu: beriman, bertaqwa, jujur, bersih, santun, cerdas, disiplin, kreatif, kerja keras dan bertanggung jawab, menyukseskan ujian nasional dengan jujur dan berprestasi, menerima dan melaksanakan pendidikan anti korupsi".
Mengkin juga bapak Mendiknas  kita terinspirasi kasus ironis, kisah mengenai Alif, siswa SDN Gadel 2 Surabaya. Ia dipaksa menyebarkan contekan oleh gurunya saat berlangsung Ujian Nasional SD tahun lalu (2011). Ia diajari cara menterjemahkan kode jawaban dari gurunya, kemudian memperlihatkan lembar jawabannya kepada teman yang lain. Kasus contekan massal yang kemudian terbongkar dan menjadi isu nasional saat itu sungguh sangat ironis. Siami, ibu si Alif yang membongkar ketidakjujuran yang diinisiasi oleh pihak sekolah atau guru itu kemudian harus berjuang ditengah perlawanan sekolah dan masyarakat sekitar yang takut anaknya tidak diluluskan.
Mungkin saja penggagas pendidikan kita terinspirasi peristiwa yang merupakan  fenomena puncak gunung es dari kondisi yang sama yang terjadi di banyak sekolah lain di negeri ini. Contek-mencontek adalah “budaya” sekolah kita. Peristiwa ini ironis karena membuka mata kita bahwa peran guru dan kepala sekolah dalam membumikan kejujuran  masih sangat rendah, bahkan bukannya guru ikut berperan aktif membangun budaya kejujuran akademik itu, mereka malah mengajarkan kepada siswanya bagaimana berbuat tidak jujur. Guru yang seharusnya mengajari siswa agar memiliki skill dan kepribadian yang baik malah menjerumuskan mereka pada budaya ketidakjujuran akademik, yang pada masa-masa selanjutnya akan merembet pada ketidakjujuran di luar aspek akademik.
Kasus tersebut  juga mengungkapkan fakta bahwa sebagian besar anggota masyarakat masih belum sepenuhnya memahami pentingnya kejujuran, sebagian dari kita lebih mementingkan nilai yang tertera di rapor ketimbang “nilai-nilai” moral yang dipegang sebagai prinsip hidup oleh anaknya. Sebagian dari kita juga belum sepenuhnya membumikan budaya kejujuran. Terbukti bukannya membela Ibu Siami, mereka malah membela guru yang bersalah itu dan melawan Ibu Siami demi kepentingan semu kelulusan anaknya.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan mestinya memiliki sistem pengajaran akademik maupun pengajaran pendidikan  karakter yang mengkondisikan peserta didik memiliki kompetensi sesuai dengan standar kompetensi lulusan yang memadai dan sikap hidup yang baik tanpa berbuat kecurangan. Karena sekolah tidak memiliki prinsip memegang kebenaran, termasuk kejujuran akademik, maka sekolah tidak membumikan budaya kejujuran akademik.
Guru sebagai pengajar dan pendidik adalah sentral dari proses belajar mengajar, bagaimana kualitas guru begitulah kualitas peserta didiknya. Dalam membumikan  tercapainya budaya kejujuran akademik (dan non-akademik), guru harus menjadi bagian terdepan.
Guru itu adalah orang yang digugu dan ditiru, dituruti perkataannya dan contoh tingkah lakunya. Sebagian besar guru tahu tentang teori Modelling, bahwa anak-anak butuh contoh, model, uswah, atau idola yang ditirunya. Sebagai pendidik, guru harus bisa menjadi teladan.  Kadang-kadang yang terjadi sebaliknya. Guru secara tidak sadar melakukan perbuatan yang menjadi contoh buruk bagi peserta didik, dalam hal kejujuran. Saya pernah menjumpai di sekolah yang agak jauh dari kota, guru memanipulasi nilai ujian (mengatrol nilai) agar ia tidak perlu melakukan remidial teaching, atau agar tidak dianggap gagal dalam mengajar, atau guru yang malah menyarankan agar siswanya memanipulasi nilai rapor agar bisa masuk ke sekolah favorit. Ada juga alasan lain agar sekolah lulus 100% sehingga mudah mendapatkan siswa baru.
Guru membumikan  dengan menyelipkan nilai-nilai moral--tidak hanya kejujuran--dalam materi-materi yang mereka ajarkan. Ini bisa dilakukan tidak hanya mata pelajaran agama atau kewargaan negara, tetapi dilakukan pada setiap mapel.
Guru juga perlu memberikan penguatan positif (reinforcement). Berikan pujian pada peserta didik jika ia melakukan perilaku yang didasarkan pada kejujuran. Pujian ini akan memberikan mereka semangat dan memotivasi mereka berbuat jujur pada waktu yang lain. Penguatan positif juga perlu dilakukan dalam bentuk pemberian penghargaan (reward). Bukankah ada 13 reward tanpa biaya dalam Quantum Teaching (mulai dari jentinkan jari, acungan jempol dsb). Misalnya saja seorang siswa yang berhasil mengerjakan soal ulangan tanpa mencontek atau tanpa menoleh kanan-kiri akan mendapatkan tambahan poin. Kadang-kadang dalam beberapa kasus, juga diperlukan sanksi (punishment) kepada siswa yang tidak jujur, misalnya poin perolehannya dikurangi. Guru juga bisa mengadakan semacam penghargaan atau achievement award bagi siswa yang nilainya bagus tapi didapat dengan kejujuran. Ini akan membuat teman-temannya yang lain menemukan role model yang baik yang bisa ditiru.
Apalah artinya ikrar dibacakan bersama kalau tidak ada tekad dan komitmen untuk membumikan nilai-nilai kejujuran akan jauh dari  harapan. Dalam mewujudkannya, peran guru adalah sentral, bukan perenial. Upaya ini juga butuh dukukan dinas pendidikan dan masyarakat. Memang bukan hal yang mudah, namun juga bukan hal yang tidak mungkin. Semoga ada harapan untuk generasi mendatang.