http://globaleducatie.blogspot.com/search/label/Pendidikan |
R.A.
Kartini terlahir 133 tahun yang lalu, tepatnya di Jepara, pada tanggal 21
April 1879 dan meninggal muda saat beliau berusia 25 tahun 4 bulan 17 hari
(Desa Bulu, Rembang, 17 September 1904).
R.A.
Kartini namanya harum di mata Bangsa Indonesia, terutama kaum wanita, karena
beliau adalah “pelopor kebangkitan perempuan pribumi.” Sehingga
namanya diabadikan menjadi pahlawan setelah keluarnya SK Presiden RI (Ir.
Soekarno) No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964 tentang penetapan Kartini
sebagai pahlawan Kemerdekaan Nasional dan lahirnya (21 April) dijadikan
peringatan sebagai hari besar.
Kehidupan
anak ke-5 dari 11 saudara ini penuh dengan perjuangan. Saat memasuki usia 12
tahun putri pasangan R.M.A.A Sosroningrat dan M.A. Ngasirah ini mulai
dipingit dan saat itulah perubahan-perubahan paradigma dalam berpikirnya
semakin berkembang dan kritis seiring dengan terbiasa berkoresponden dengan
teman-temannya di Eropa (Belanda) dan bersentuhan dengan berbagai lapisan
masyarakat dan agamanya (Islam) yang banyak menerangkan tentang kemuliaan
seorang perempuan.
Terlepas
dari pergaulannya beliau dengan kaum bangsawan Eropa, sejatinya ada latar
belakang sosial disekitarnya yang sangat meyentuh terhadap diri R.A. Kartini.
Awalnya adalah Ngasirah. Beliau yang melahirkan Kartini pada 21 April 1879.
Waktu itu ayah Kartini, Sosroningrat, masih wedana. Tapi ketika diangkat jadi
bupati, ia menikah dengan Raden Ajeng Moerjam, keturunan bangsawan Madura.
Moerjam-lah yang kemudian menjadi Raden Ayu Bupati Jepara, bukan Ngasirah
yang telah melahirkan delapan anak. Ngasirah, anak Kiai yang pedagang kopra
dari Desa Mayong, Jepara, tergusur. Dia hanya seorang selir dan tidak berhak
tinggal di rumah utama kabupaten. Ia harus memanggil anak-anaknya sendiri
ndoro (majikan), sementara mereka memanggil dirinya yu (panggilan untuk orang
kebanyakan atau kakak perempuan). Bahkan Ngasirah masih harus
merangkak-rangkak dan membungkuk-bungkuk di depan putra-putrinya sendiri.
Disamping itu, beliau menikah secara “terpaksa” pada tanggal 12 November 1903
dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, yang sudah pernah
memiliki tiga istri. Peristiwa-peristiwa inilah yang mengilhami
pemikiran-pemikiran beliau dalam membela harkat dan martabat kaum wanita,
khususnya di tanah Jawa dan umumnya di Indonesia.
Pasca
beliau wafat, J.H. Abendanon, selaku menteri kebudayaan, agam, dan kerajinan
Hindia Belanda pada waktu itu (1900-1905)”merekontruksi” surat-surat yang
pernah dikirimkan R.A. Kartini pada para teman-temannya di Eropa menjadi
sebuah buku. Door Duisternis tot Licht demikian judul buku tersebut dalam
bahasa Belanda yang berarti “Habis Gelap Terbitlah Terang.”
Judul
tersebut mengingatkan saya akan ayat Al-quran yang sering terbaca saat talaqi
ataupun muroja’ah, “Minadz dzulumati ilaan nur” yang kemudian saya
sengaja mencari kalimat Al-quran sejenis dalam Al-Quran menghasilkan 6 tempat
pada 5 surat berbeda; Qs. Al-Baqoroh(2):257, Ath-Thalaq (11): 65, Al-Hadid
(57):9, Ibrahim (14): 1 dan 5 dan Al-Ahzab (33): 43. Kemudian buku tersebut
diterjemahkan kedalam berbagai bahasa diantaranya, Inggris, Arab dan tentunya
Indonesia.
Pandangan-pandangan
kritis yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap
pemerintah Belanda akan agamanya (Islam) yang pada waktu itu salah satu
politik “misionaris” Belanda adalah tidak diperbolehkan menterjemahkan dan
mentafsirkan Al-quran dengan alasan “Kitab Suci” dengan tujuan tersembunyi
agar umat Islam semakin bodoh dan tidak paham akan agamanya sendiri.
Melalui
surat tersebut beliau mempertanyakan,
“Mengapa
kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami.”
“Bagaimana
mungkin kami bisa mencintai agama kami, mengamalkan, mengajarkan,
memperjuangkan dan membela agama kami (Islam) jika kami bodoh (karena
pemerintah Belanda melarang menterjemah dan menafsirkan Al-Quran)”. (Habis Gelap terbitlah Terang, Armijn Pane, Balai
Pustaka, 1978. Hal. 45).
Sindiran
lainnya tentang “agama” yang menjadi dasar penjajahan Belanda yakni aksi
misionaris yang mereka lakukan. Beliau menyatakan,
“Dunia
akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia
untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. Agama harus menjaga kita
daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama
agama itu…”
Perdebatan
tentang pemikiran R.A. Kartini tidak pernah sepi diantaranya beliau dianggap
menghianati perjuangannya sendiri dengan menerima poligami yang dahulu pernah
beliau tentang.
Yang
jelas buku Habis Gelap Terbitlah Terang yang diterbitkan Balai Pustaka tahun
1978 setebal 214 halaman tersebut dengan format lima bab pembahasan berbeda
dari buku aslinya yang bejudul Door Duisternis tot Licht berdasarkan factor
paradigma pemikiran R.A. Kartini yang terus berkembang dan menunjukkan
perubahan sikap; baik terhadap control social, politik maupun masalah
religiusitasnya.
R.A.
Kartini telah berkembang menjadi perempuan yang taat beragama, ekspresif,
sadar akan kedudukannya sebagai seorang perempuan yang dimuliakan dalam
Islam, emansipasi yang tidak keluar dari aturan agama yang telah salahkaprah
pada saat ini dengan mengatasnamakan beliau terlebih masalah gender equality
yang malah menurunkan bahkan melecehkan harkat dan martabat seorang
perempuan.
Perjuangan
memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan
dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan. Jadi, sebagai pelajar marilah
kita teruskan perjuangan RA Kartini dengan cara belajar yang tekun.
Disarikan
dari tulisan: Dra. Hj Luluatul Fuadiyah, M.A
|
Tidak ada komentar:
Posting Komentar