Sabtu, 21 April 2012

MENELADANI R.A. KARTINI






http://globaleducatie.blogspot.com/search/label/Pendidikan


Posting By Tofik Rochadi
R.A. Kartini terlahir 133 tahun yang lalu, tepatnya di Jepara, pada tanggal 21 April 1879 dan meninggal muda saat beliau berusia 25 tahun 4 bulan 17 hari (Desa Bulu, Rembang, 17 September 1904).
R.A. Kartini namanya harum di mata Bangsa Indonesia, terutama kaum wanita, karena beliau adalah “pelopor kebangkitan perempuan pribumi.” Sehingga namanya diabadikan menjadi pahlawan setelah keluarnya SK Presiden RI (Ir. Soekarno) No.108 Tahun 1964, tanggal 2 Mei 1964 tentang penetapan Kartini sebagai pahlawan Kemerdekaan Nasional dan lahirnya (21 April) dijadikan peringatan sebagai hari besar.
Kehidupan anak ke-5 dari 11 saudara ini penuh dengan perjuangan. Saat memasuki usia 12 tahun putri pasangan R.M.A.A Sosroningrat dan M.A. Ngasirah ini mulai dipingit dan saat itulah perubahan-perubahan paradigma dalam berpikirnya semakin berkembang dan kritis seiring dengan terbiasa berkoresponden dengan teman-temannya di Eropa (Belanda) dan bersentuhan dengan berbagai lapisan masyarakat dan agamanya (Islam) yang banyak menerangkan tentang kemuliaan seorang perempuan.
Terlepas dari pergaulannya beliau dengan kaum bangsawan Eropa, sejatinya ada latar belakang sosial disekitarnya yang sangat meyentuh terhadap diri R.A. Kartini. Awalnya adalah Ngasirah. Beliau yang melahirkan Kartini pada 21 April 1879. Waktu itu ayah Kartini, Sosroningrat, masih wedana. Tapi ketika diangkat jadi bupati, ia menikah dengan Raden Ajeng Moerjam, keturunan bangsawan Madura. Moerjam-lah yang kemudian menjadi Raden Ayu Bupati Jepara, bukan Ngasirah yang telah melahirkan delapan anak. Ngasirah, anak Kiai yang pedagang kopra dari Desa Mayong, Jepara, tergusur. Dia hanya seorang selir dan tidak berhak tinggal di rumah utama kabupaten. Ia harus memanggil anak-anaknya sendiri ndoro (majikan), sementara mereka memanggil dirinya yu (panggilan untuk orang kebanyakan atau kakak perempuan). Bahkan Ngasirah masih harus merangkak-rangkak dan membungkuk-bungkuk di depan putra-putrinya sendiri. Disamping itu, beliau menikah secara “terpaksa” pada tanggal 12 November 1903 dengan Bupati Rembang, Raden Adipati Joyodiningrat, yang sudah pernah memiliki tiga istri. Peristiwa-peristiwa inilah yang mengilhami pemikiran-pemikiran beliau dalam membela harkat dan martabat kaum wanita, khususnya di tanah Jawa dan umumnya di Indonesia.
Pasca beliau wafat, J.H. Abendanon, selaku menteri kebudayaan, agam, dan kerajinan Hindia Belanda pada waktu itu (1900-1905)”merekontruksi” surat-surat yang pernah dikirimkan R.A. Kartini pada para teman-temannya di Eropa menjadi sebuah buku. Door Duisternis tot Licht demikian judul buku tersebut dalam bahasa Belanda yang berarti “Habis Gelap Terbitlah Terang.”
Judul tersebut mengingatkan saya akan ayat Al-quran yang sering terbaca saat talaqi ataupun muroja’ah, “Minadz dzulumati ilaan nur” yang kemudian saya sengaja mencari kalimat Al-quran sejenis dalam Al-Quran menghasilkan 6 tempat pada 5 surat berbeda; Qs. Al-Baqoroh(2):257, Ath-Thalaq (11): 65, Al-Hadid (57):9, Ibrahim (14): 1 dan 5 dan Al-Ahzab (33): 43. Kemudian buku tersebut diterjemahkan kedalam berbagai bahasa diantaranya, Inggris, Arab dan tentunya Indonesia.
Pandangan-pandangan kritis yang diungkapkan Kartini dalam surat-suratnya adalah kritik terhadap pemerintah Belanda akan agamanya (Islam) yang pada waktu itu salah satu politik “misionaris” Belanda adalah tidak diperbolehkan menterjemahkan dan mentafsirkan Al-quran dengan alasan “Kitab Suci” dengan tujuan tersembunyi agar umat Islam semakin bodoh dan tidak paham akan agamanya sendiri.
Melalui surat tersebut beliau mempertanyakan,
“Mengapa kitab suci harus dilafalkan dan dihafalkan tanpa diwajibkan untuk dipahami.”
“Bagaimana mungkin kami bisa mencintai agama kami, mengamalkan, mengajarkan, memperjuangkan dan membela agama kami (Islam) jika kami bodoh (karena pemerintah Belanda melarang menterjemah dan menafsirkan Al-Quran)”. (Habis Gelap terbitlah Terang, Armijn Pane, Balai Pustaka, 1978. Hal. 45).
Sindiran lainnya tentang “agama” yang menjadi dasar penjajahan Belanda yakni aksi misionaris yang mereka lakukan. Beliau menyatakan, 
“Dunia akan lebih damai jika tidak ada agama yang sering menjadi alasan manusia untuk berselisih, terpisah, dan saling menyakiti. Agama harus menjaga kita daripada berbuat dosa, tetapi berapa banyaknya dosa diperbuat orang atas nama agama itu…”
Perdebatan tentang pemikiran R.A. Kartini tidak pernah sepi diantaranya beliau dianggap menghianati perjuangannya sendiri dengan menerima poligami yang dahulu pernah beliau tentang.
Yang jelas buku Habis Gelap Terbitlah Terang yang diterbitkan Balai Pustaka tahun 1978 setebal 214 halaman tersebut dengan format lima bab pembahasan berbeda dari buku aslinya yang bejudul Door Duisternis tot Licht berdasarkan factor paradigma pemikiran R.A. Kartini yang terus berkembang dan menunjukkan perubahan sikap; baik terhadap control social, politik maupun masalah religiusitasnya.
R.A. Kartini telah berkembang menjadi perempuan yang taat beragama, ekspresif, sadar akan kedudukannya sebagai seorang perempuan yang dimuliakan dalam Islam, emansipasi yang tidak keluar dari aturan agama yang telah salahkaprah pada saat ini dengan mengatasnamakan beliau terlebih masalah gender equality yang malah menurunkan bahkan melecehkan harkat dan martabat seorang perempuan.
Perjuangan memang belum berakhir, di era globalisasi ini masih banyak dirasakan penindasan dan perlakuan tidak adil terhadap perempuan. Jadi, sebagai pelajar marilah kita teruskan perjuangan RA Kartini dengan cara belajar yang tekun.
Disarikan dari tulisan: Dra. Hj Luluatul Fuadiyah, M.A  

Tidak ada komentar:

Posting Komentar