By Tofik Rochadi
Kalian tahu
istilah galau akhir-akhir ini sering muncul di kalangan anak muda. Menurut
Kamus Besar Bahasa Indonesia galau
artinya ramai sekali atau kacau tidak karuan. Akan tetapi penggunaan kata galau
menjadi berkembang. Kali ini perasaan
galau tidak hanya aku pahami artinya tetapi akhirnya melanda juga mesti aku merasakannya.
Ternyata galau tidak hanya mewabah pada kalangan remaja perasaan gundah, bingung, resah, gelisah, panik, cemas,dan
risau beraduk menjadi satu. Saat ini aku menjadi orang tua sekaligus menjadi
wali siswa yang akan menghadapi Ujian Nasional (UN). Perasan semacam ini wajarnya dialami siswa peserta ujian nasional, tetapi justru
saya sebagai orang tua siswa yang merasakan. Mungkin saja dialami juga oleh
orang lain, ketika anaknya menghadapi ujian atau tes orang tua ikut prihatin
dan merasakan kegalauan akan perjuangan anaknya untuk berhasil.
Pernah menjadi
polemik tahun lalu, apakah Ujian Nasional akan tetap diberlakukan atau
dihapus. Mereka yang pro UN berkeyakinan bahwa UN adalah alat
untuk mengukur kualitas siswa di suatu sekolah. Ukuran ini berlaku dengan
standar kelualusan yang ditentukan. Bagaimana jika setiap penyelenggra
pendidikan hanya membuat ukuran standar lokal tanpa ada standar secara nasional?
Tentu ini jika dijadikan pedoman seleksi masuk sekolah ke jenjang yang lebih
tinggi tidak ada alat ukur yag objektif.
Mereka yang
kontra, mendukung UN dihapus karena ukuran kelulusan hanya ditentukan beberapa
mata pelajaran. Sedangkan proses belajar mengajar selama tiga tahun hanya
ditentukan tiga hari. Inilah menjadi sebuah ketidak adilan bahkan tidak
manusiawi. Siswa yang tergolong
pandai belum tentu lulus karena
situasiional sesaat ketika mengikuti UN, mungkin saja karena kondisi fisik
tidak mendukung atau karena suatu hal
sehingga bernasib buruk. Berapa banyak siswa setiap tahun menjadi korban kekecewaan
dan depresi tidak lulus karena hal yang
sepele. Bahkan mereka menjadi stress dan putus asa.
Siswa yang
siaga mempersiapkan UN sedini mungkin tidak akan merasa khawatir
tidak lulus. Mereka yakin UN adalah hal yang biasa. Seorang siswa sudah
semestinya ada proses tes atau penilaian
terhadap apa yang sudah dipelajarinya. Hal yang logis seorang siswa
diuji pada akhir tahun pelajaran.
Kecuali seorang tukang becak harus diuji
mengikuti Ujian Nasional, hal ini yang
tidak logis.
Pengkondisian
persiapan UN biasanya sekolah menyelenggarakan beberapa kali tryout untuk
melatih dan mengukur penguasaan materi uji bagi siswa maupun guru. Beberapa siswa saya ajak untuk simulasi ujian
nasional. Mereka saya beri karet balon, sengaja saya pilih lima perempuan lima
siswa laki-laki. Dalam hitungan yang sama mereka diajak untuk meniup balon
sampai meletus. Berbagai ekspresi terjadi, ada yang meniup balon dengan pelan,
ada juga yang gugup, ada juga yang meniup balon terengah-engah lalu berhenti. Kalau
diamati mereka takut, ragu ada juga yang khawatir dengan letusan balon membuat
sakit atau kaget. Ada juga yang meniup balo n dengan semangat dan akhirnya
meletus. Berapa yang gagal meletuskan balon pada waktu yang ditentukan saya
beri arahan cara meniup balon yang baik. Lalu mereka meniup balon terus,
terus, dan terus….akhirnya meletus juga.
Makna dari simulasi ini pertama ujian nasional ibarat meniup balon,
kelihatannya menakutkan, mengerikan akan tetapi jika dilakukan tidak akan
terjadi apa-apa ekstrimnya tidak ada yang sampai berdara-darah. Kedua bagi mereka yang gagal perlu diberi
motivasi, atau support orang lain bisa
berarti dari guru atau orang tua, akhirnya berhasil. Ketiga ujian nasional
perlu dilakuakan dengan tenang, sungguh-sungguh, dengan belajar sedikit demi
sedikit namun pasti, tidak perlu khawatir yang berlebihan akhirnya balon akan meletus artinya berhasil
atau lulus.
Kegalauan
mungkin terjadi pada setiap siswa yang akan mengikuti UN, hal ini bisa menjadi
wajar meskipun guru mereka mengajarkan jika kamu sungguh-sungguh pasti akan bisa
(manjadda wa jada). Pemicu kegalauan
barangkali mereka berkeyakinan Ujian Nasional menentukan lulus atau tidak lulus
seorang siswa dan jika nilai tidak mencapai standar minimal maka akan gagal,
bahkan jika nilai tidak baik akan khawatir tidak bisa melanjutkan pada sekolah
favorit. Kini menjadi pertanyaan saya mengapa aku yang galau, ya?