Minggu, 08 Mei 2016

Waspadalah Generasi Z




Oleh: Tofik Rochadi,S.Pd.M.Pd.
Pada sebuah Pelatihan Instruktur Provinsi Kurikulum Sekolah Menengah Pertama di Jogjakarta bulan April 2016, saya terkesima dengan materi Peran Keluarga dalam Pembelajaran Kesiswaan. Ternyata kita tak terasa sudah memasuki generasi yang tak bisa dibendung dan harus waspada. Jika tidak kita akan terperosok pada generasi tak terkendali dan berbahaya. Apa itu?  Mari kita simak pembahasannya.
Don Tapscott dalam bukunya Grown Up Digital membagi demografi penduduk dalam 5 kelompok generasi , yaitu:  (1) Generasi Baby Boomer, lahir 1946-1964, (2) Generasi X, lahir 1965-1980, (3) Generasi Y, lahir 1981-1994. Generasi  Z, lahir 1995-2010, dan (5) Generasi Alpha, lahir 2011-2025. Generasi Z (disebut juga iGenerationGenerasi Net, atau Generasi Internet) terlahir dari generasi X dan Generasi Y.
Apa dan Bagaimana Ciri Generasi Z?
Mereka lahir dan dibesarkan di era digital, dengan aneka teknologi yang komplet dan canggih, seperti: komputer/laptop, HandPhone, iPads, PDA, MP3 player, BBM, internet, dan aneka perangkat elektronik lainnya. Sejak kecil, mereka sudah mengenal (atau mungkin diperkenalkan) dan akrab dengan berbagai gadget yang canggih itu, yang secara langsung atau pun tidak langsung akan berpengaruh terhadap perkembangan perilaku dan kepribadiannya. Tuhana Taufiq Andrianto dalam Jusuf AN (2011) memperkirakan akan terjadi booming Generasi Z  sekitar tahun 2020.
Generasi Z memiliki karakteristik perilaku dan kepribadian yang berbeda dengan generasi sebelumnya.  Beberapa karakteristik umum dari Generasi Z diantaranya adalah:
  1. Fasih Teknologi. Mereka adalah “generasi digital” yang mahir dan gandrung akan teknologi informasi dan berbagai aplikasi komputer.  Mereka dapat mengakses berbagai informasi yang mereka butuhkan secara mudah dan cepat, baik untuk kepentingan pendidikan maupun kepentingan hidup kesehariannya.
  2. Sosial. Mereka sangat intens berkomunikasi dan berinteraksi dengan semua kalangan, khususnya dengan teman sebaya melalui berbagai situs jejaring, seperti: FaceBook, twitter, atau  melalui SMS. Melalui media ini, mereka bisa mengekspresikan apa yang  dirasakan dan dipikirkannya secara spontan. Mereka juga cenderung toleran dengan perbedaan kultur dan sangat peduli dengan lingkungan.
  3. Multitasking.  Mereka terbiasa dengan berbagai aktivitas  dalam satu waktu yang bersamaan. Mereka bisa membaca, berbicara, menonton, atau mendengarkan musik dalam waktu yang bersamaan. Mereka menginginkan segala sesuatunya dapat dilakukan dan berjalan serba cepat. Mereka tidak menginginkan hal-hal yang bertele-tele dan berbelit-belit.
Karakteristik tersebut memiliki dua sisi yang berlawanan, bisa positif- memberikan manfaat bagi dirinya dan atau lingkungannya- atau justru malah negatif yang dapat merugikan diri sendiri maupun lingkungannya. Wawan (2011)  dalam tulisannya yang dipublikasikan di Wikimu, mengatakan bahwa karena mereka fasih dengan teknologi digital, mereka sangat cocok bekerja di perusahaan besar, perusahaan yang mampu menyediakan fasilitas modern. Namun mereka akan kesulitan jika diminta mengelola sebidang tanah, dengan fasilitas pengairan, dan modal uang secukupnya. Karena yang ada di benak mereka adalah komputer, laptop dan HP, bukan peternakan, perikanan dan pertanian.  Merurut Tuhana Taufiq Andrianto, sebagaimana disampaikan oleh Jusuf AN  dalam tulisannya yang berjudul “Masa Depan Anak-Anak “Generasi Z” bahwa  anak cenderung berkurang dalam komunikasi secara verbal, cenderung bersikap egosentris dan individualis, cenderung menginginkan hasil yang serba cepat, serba-instan, dan serba-mudah, tidak sabaran, dan tidak menghargai proses. Kecerdasan Intelektual (IQ) mereka mungkin akan berkembang baik, tetapi kecerdasan emosional mereka jadi tumpul. Sementara itu,  Choiron  (2011) menyoroti tentang bahaya dari kecenderungan generasi Z yang gemar  mendengarkan musik melalui earphone,  yang dapat menyebabkan kecelakaan lalu lintas dan gangguan pada pendengaran.
Sementara Harian Kompas Harian Kompas, Senin 20 Maret 2015, memberitakan bahwa dunia kita sekarang memasuki era baru, Internet of Things, era ketika semua perangkat elektronik disekitar kita akan saling terhubung dengan internet. Pengunaan internet yang sangat tinggi ini, khususnya pada media sosial, memunculkan sebuah fakta yang juga menarik. Dalam jurnal Personality and Social Psychology Bulletin ditemukan bahwa remaja yang sudah bosan dengan media sosial cenderung tidak merasa kesepian karena berinteraksi dengan kelompok kecilnya. Kesimpulannya, ilmuwan menemukan saat ini remaja lebih bersifat individualis daripada remaja masa lalu. Sifat individual tersebut mengurangi rasa kesepian dan mengurangi kebutuhan interaksi dengan komunitas yang lebih luas.
Sebelumnya saya berdiskusi ringan dengan Dr. Hari Wulyanto. MPd. Kasi Kurikulum Dinas Pendidikan Provinsi Jawa Tengah kebetulan minta tanggapan saya tentang sebuah judul bukunya “Abad Kesepian” yang akan dirilis. Pemerhati pendidikan ini sudah membayangkan dari fenomena yang terjadi di lingkungannya bahkan putranya sendiri. Diilustrasikan betapa sepinya dunia ini, ketika bepergian sekeluarga satu mobil ayah, ibu dan anak sibuk dengan HP androidnya, tanpa tegur sapa. Disinilah awal komunikasi yang paling dekat tidak terbangun justru media maya ini mendekatkan yang jauh tapi sekaligus menjauhkan yang dekat. Saya mengoreksi beberapa tulis beliau dan merasa berterimakasih telah memberikan masukan.
Bisa jadi, saat ini dan tahun-tahun ke depan, relasi interpersonal secara langsung, tatap muka antara orang tua dan anak, sudah lebih tidak ada lagi karena telah digantikan dengan relasi dan hubungan yang terbangun lewat perangkat elektronik dan jaringan internet. Orangtua terlalu sibuk dengan usaha dan pekerjaan, sehingga melupakan arti pentingnya kehadirannya dalam setiap ruang pendampingan, pembinaan dan pendidikan anak. Lalu pada situasi seperti ini, generasi seperti apa yang hendak lihat di masa depan? Generasi yang menghabiskan waktu berjam-jam bahkan seharian dengan gadget dan internetnya, lalu membuat orang-orang terdekatnya semakin jauh dari kehidupannya?
 Apa yang Bisa Kita lakukan?
Generasi Z sudah mulai hadir dalam kehidupan kita. Tantangan paling menantang bagi setiap orangtua adalah, bagaimana memainkan perannya dalam sebuah kerangka pola asuh yang tidak saja berusaha mengedepankan penumbuhan nilai-nilai dan pembentukan karakter, tetapi juga tetap memperhatikan ‘situasi dan selera’ anak serta perlu juga mewaspadai munculnya berbagai gangguan psikis atau internet addiction oleh karena penggunaan internet yang berlebihan.
Adalah kenyataan bahwa ketidakmampuan guru/orangtua dalam mengenal anak (tahap dan proses perkembangan) dan berkomunikasi dengan anak menyumbangkan problem paling besar dalam pendidikan anak dibandingkan dengan problem yang dibawa anak itu sendiri sejak lahir. Maka pada titik ini, kebutuhan akan kompetensi parenting orangtua menjadi sangat penting. Orangtua perlu smart parenting. Salah satu teknik smart parenting yang bisa digunakan adalah hypno parenting.
Hypno parenting merupakan salah satu dari aplikasi keilmuan hypnosis dalam melakukan berbagai komunikasi yang efeketif dan efesien, pendekatan dan pendampingan terhadap anak secara sangat persuasif. Bahasa yang digunakan dalam teknik hypno parenting adalah bahasa ‘kita’ bukan ‘kamu’. Bahasa ‘kita’ lebih bersifat empati, fokusnya pada perasaan anak, keluar dari jiwa dan membangun positive feeling. Sementara bahasa ‘kamu’ lebih bersifat ‘blaming the victim’, menuntut, memaksa, menasihati, keluar dari emosi, bersifat defensif dan membangun negative feeling (kamu nakal, kamu jahat, kamu bodoh, dsb). Hypno parenting diawali dengan proses identifikasi tipologi pembelajaran anak, atau cara anak menyerap informasi, apakah secara visual, auditori ataukah secara kinestetik. Selanjutnya identifikasi perilaku anak. Berbekal pemahaman akan kecenderungan tipologi anak dan identifkasi perilaku, barulah orangtua melakukan pendampingan. Pembinaan ataupun pendidikan anaknya.
Bagi saya, anak-anak memerlukan internet. Betapa tidak, internet telah menjadi salah satu instrument pembelajaran dewasa ini, demi keseimbangan antara fungsi visual, auditori dan kinestetik anak. Keseimbangan ini perlu,
 Beberapa cara dan peran berikut ini, kiranya bisa dimainkan para orangtua.
  1. Orangtua memberi pengertian kepada anak, tentang situs dan konten mana yang boleh diakses oleh anak dan mana saja yang tidak boleh. Tentu saja yang tidak boleh adalah situs-situs pornografi dan kekerasan serta semua situs yang bertentangan dengan nilai-nilai agama, adat istiadat dan kearifan lokal. Untuk anak-anak usia 1 – 12 tahun, hemat saya masih memerlukan pendampingan dari orangtua dalam hal penggunaan internet. Untuk anak-anak usia diatas 12 tahun, sudah bisa diberi kebebasan terbatas untuk mengakses internet, namun tetaplah dengan batasan situs dan konten internet mana yang boleh diakses;
  2. Orangtua melakukan pengawasan/pembatasan yang ketat juga perlu dilakukan oangtua, misalanya dengan penggunaan aplikasi pembatas situs porno (software filter) atau search engine khusus bagi anak atau computer ditempatkan diruang terbuka yang bisa dilihat semua anggota keluarga.
  3. Orangtua tetap dituntut bersikap tegas, namun tetap lembut dan kesabaran;
  4. Orangtua mengeksekusi character building dan atau pendidikan nilai secara terus menerus, dengan penuh cinta untuk mengimbangi derasnya pengaruh negatif dari internet;
  5. Orangtua membangun dialog – komunikasi yang terbuka serta menjamin kehadiran diri secara utuh dan perhatian yang terus-menerus;
  6. Orangtua perlu juga mengasah dan meningkatkan kompetensi diri:dalam hal pendidikan dan pendampingan bagi anak-anaknya, misalnya dengan rajin membaca buku-buku parenting, mengikuti seminar maupun pelatihan-pelatihan pengembangan diri, khususnya yang bertema psikologi atau parenting dan komunikasi efektif.

 Jika anda ingin generasi Z maupun Alpha di masa depan menjadi generasi yang sehat mentalnya, maka mulai sekarang persiapkan dirimu, termasuk mempersiapkan diri dengan segenap kompetensi parenting.
Sumber-sumber :
  1. http://khairulabdullah.com/generasi-apakah-anda-x-y-atau-z/;
  2. Harian Kompas, Jumat, 20 Maret 2015, halaman 37;
  3. http://health.detik.com/read/2015/02/13/174338/2832704/763/studi-punya-teman-di-jejaring-sosial-bisa-kurangi-rasa-kesepian;
  4. Materi-materi pelatihan Hypno Parenting milik Bung Joss.
  5. Wulyanto,Hari. 2015. Abad Kesepian.