Selasa, 03 Desember 2013

Gua Hira dan Ka’bah



Oleh: Tofik Rohadi
Awalnya aku ragu untuk melanjutkan perjalanan, melihat ke bawah bangunan rumah terlihat kecil, melihat ke atas terlihat  jauh menuju puncak. Tetapi teman saya kebetulan seorang tentara yang kuat fisiknya. Akupun dipaksa untuk terus menapaki undak-undakan di punggung gunung. Kaki terasa linu dan pegel, nafas terasa terengah-engah. Minum air mineral sudah hampir satu botol, namun masih terasa haus. Diantara kepenatan aku merasa malu di depanku ada kakek bertongkat berbaju abu-abu rupanya orang Turki sedang tertatih-tatih menuruni jalan setapak yang terjal. Ternyata di belakangnya seorang nenek berkulit agak gelap tetapi di hidungnya dipasang tindik dari emas, rupanya orang Pakistan dilihat dari atribut yang dikenakan.  Mereka sebegitu tua umurnya tetapi sudah berhasil mencapai gua dan tinggal kembali turun gunung.  
Perjalanan dari Masjidil Haram kami naik taksi, persiapan berangkat setelah subuh. Tepat jam 9 saya sampai di Gua Hira atau dikenal Jabal Nur. Kurang lebih memakan waktu satu jam pendakian ke Gua tempat pertama kali Nabi Muhammad saw memperoleh wahyu dari Allah azza wajalla. Sudah ramai beberapa orang naik ke puncak. Ada juga beberapa orang yang sudah mulai turun. Ada yang menyapa “Indonesia bagus” kata orang asing itu. Ada juga yang berteriak “Inodonesia semangat,” rupanya mereka orang Indonesia yang sudah berhasil dan turun dari puncak. Setelah aku tanya ternyata berangkatnya jam 3 malam sebelum subuh, pantas saja sudah turun gunung.
Dalam perjalanan yang melelahkan itu banyak bertemu dengan kucing. Saya tidak tahu mengapa banyak kucing di sana. Tetapi mungkin saja ada hubunganya dengan al-Hirru dalam Bahasa Arab yang berarti kucing. Karena banyak kucing kemudian diberi nama Gua Hira. Sekali lagi, itu mungkin saja.
Aku melewati pintu gua yang sempit, setelah itu turun sedikit dari puncak gunung. Ternyata sudah banyak orang yang antri untuk masuk gua. Akupun berdesak-desakan mengantri. Begitu sampai aku giliran masuk gua lebar sekitar satu meter panjang gua sekitar dua meter.  Aku  langsung shalat mutlak dua rakaat dan bermunajat kepada Allah. Terasa energi yang besar sekali. Ya, aku sedang duduk di tempat Nabi Muhammad saw duduk. Entah karena ada yang membawa parfum atau dari mana yang jelas hidung mencium aroma harum nan wangi.  Aku sadar saat ini aku di tempat manusia mulia di hadapan Allah azza wajalla yang saat itu sedang menyendiri. Di tempat beliau bertemu malaikat Jibril as. Aku  tidak bisa menahan deraian tetes  air mata yang keluar tanpa aku minta. Ya Allah aku rindu dengan suasana ini. Ya Allah aku rindu dengan kekasihMU.
Selesai bersimpuh bermunajat aku sempatkan mengamati  pada sebuah lubang kecil di depan tempat sujud. Ketika aku perhatikan ternyata lubang itu persis tertuju pada ka’bah,  dengan tanda menara jam raksasa itu terlihat dengan jelas. Hatiku semakin bergetar menyaksikan kebesaran Allah itu. Jantung serasa berdegup kencang. Berarti saat Rasulullah saw memang bukan sekedar di sembarang gua, akan tetapi di gua yang sesekali beliau bisa melihat ka’bah yang agung. Berarti persis menghadap kiblat.
Perjalanan rohani kali ini mengalirkan ketakjuban, betapa berat perjuangan Rasulullah dahulu dalam proses memperolah wahyu Al Qur’an. Beliau harus berjalan dari rumah di Mekkah kurang lebih 10 km, ditambah pendakian gunung yang terjal lebih dari satu jam pendakian, itupun dahulu gunung belum dibuat jalan berundak. Rasulullah berkhalwat beberapa hari dan disitulah ayat “Iqra’ bismi rabbikaldzi kholaq...bacalah dengan nama Tuhanmu...” diturunkan hingga abadi di akhir jaman. Subhanallah. ***