Oleh: Tofik Rohadi
Awalnya aku ragu untuk melanjutkan
perjalanan, melihat ke bawah bangunan rumah terlihat kecil, melihat ke atas
terlihat jauh menuju puncak. Tetapi
teman saya kebetulan seorang tentara yang kuat fisiknya. Akupun dipaksa untuk
terus menapaki undak-undakan di punggung gunung. Kaki terasa linu dan pegel,
nafas terasa terengah-engah. Minum air mineral sudah hampir satu botol, namun
masih terasa haus. Diantara kepenatan aku merasa malu di depanku ada kakek
bertongkat berbaju abu-abu rupanya orang Turki sedang tertatih-tatih menuruni
jalan setapak yang terjal. Ternyata di belakangnya seorang nenek berkulit agak
gelap tetapi di hidungnya dipasang tindik dari emas, rupanya orang Pakistan
dilihat dari atribut yang dikenakan. Mereka
sebegitu tua umurnya tetapi sudah berhasil mencapai gua dan tinggal kembali
turun gunung.
Perjalanan dari Masjidil Haram kami
naik taksi, persiapan berangkat setelah subuh. Tepat jam 9 saya sampai di Gua
Hira atau dikenal Jabal Nur. Kurang lebih memakan waktu satu jam pendakian ke Gua
tempat pertama kali Nabi Muhammad saw memperoleh wahyu dari Allah azza wajalla.
Sudah ramai beberapa orang naik ke puncak. Ada juga beberapa orang yang sudah
mulai turun. Ada yang menyapa “Indonesia bagus” kata orang asing itu. Ada juga
yang berteriak “Inodonesia semangat,” rupanya mereka orang Indonesia yang sudah
berhasil dan turun dari puncak. Setelah aku tanya ternyata berangkatnya jam 3
malam sebelum subuh, pantas saja sudah turun gunung.
Dalam perjalanan yang melelahkan itu
banyak bertemu dengan kucing. Saya tidak tahu mengapa banyak kucing di sana.
Tetapi mungkin saja ada hubunganya dengan al-Hirru dalam Bahasa Arab yang
berarti kucing. Karena banyak kucing kemudian diberi nama Gua Hira. Sekali
lagi, itu mungkin saja.
Aku melewati pintu gua yang sempit,
setelah itu turun sedikit dari puncak gunung. Ternyata sudah banyak orang yang
antri untuk masuk gua. Akupun berdesak-desakan mengantri. Begitu sampai aku
giliran masuk gua lebar sekitar satu meter panjang gua sekitar dua meter. Aku langsung
shalat mutlak dua rakaat dan bermunajat kepada Allah. Terasa energi yang besar
sekali. Ya, aku sedang duduk di tempat Nabi Muhammad saw duduk. Entah karena
ada yang membawa parfum atau dari mana yang jelas hidung mencium aroma harum
nan wangi. Aku sadar saat ini aku di tempat
manusia mulia di hadapan Allah azza wajalla yang saat itu sedang menyendiri. Di
tempat beliau bertemu malaikat Jibril as. Aku tidak bisa menahan deraian tetes air mata yang keluar tanpa aku minta. Ya Allah
aku rindu dengan suasana ini. Ya Allah aku rindu dengan kekasihMU.
Selesai bersimpuh bermunajat aku
sempatkan mengamati pada sebuah lubang
kecil di depan tempat sujud. Ketika aku perhatikan ternyata lubang itu persis
tertuju pada ka’bah, dengan tanda menara
jam raksasa itu terlihat dengan jelas. Hatiku semakin bergetar menyaksikan
kebesaran Allah itu. Jantung serasa berdegup kencang. Berarti saat Rasulullah
saw memang bukan sekedar di sembarang gua, akan tetapi di gua yang sesekali
beliau bisa melihat ka’bah yang agung. Berarti persis menghadap kiblat.
Perjalanan rohani kali ini mengalirkan ketakjuban,
betapa berat perjuangan Rasulullah dahulu dalam proses memperolah wahyu Al Qur’an.
Beliau harus berjalan dari rumah di Mekkah kurang lebih 10 km, ditambah
pendakian gunung yang terjal lebih dari satu jam pendakian, itupun dahulu
gunung belum dibuat jalan berundak. Rasulullah berkhalwat beberapa hari dan
disitulah ayat “Iqra’ bismi rabbikaldzi
kholaq...bacalah dengan nama Tuhanmu...” diturunkan hingga abadi di akhir
jaman. Subhanallah. ***