|
Hari ini, 11 April 2012 telah terjadi gempa bumi
di Sumatra dengan kekuatan 8.5 SR
Jam 6.26-29. Gempa susulan jam 16. 48, mari kita koreksi diri ada apa yang kuasa memberi.musibah. Ada beberapa hal yang bisa kita maknai dari berbagai macam bencana dan musibah tersebut.
Allah menurunkan bencana untuk
menunjukkan sebagian dari tanda-tanda kekuasaan-Nya. Agar kita merenungi betapa
besarnya kekuasaan Allah, dan betapa besarnya nikmat Allah kepada kita.
Gunung baru batuk saja, sudah meluluhlantakkan segenap yang ada di sekelilingnya.
Lautan, digoncang sedikit saja, sudah menyapu segenap daratan yang ada
didekatnya. Bagaimana jika – naudzu billah - Allah melakukan lebih dari itu?
Betapa nikmat Allah selama ini teramat besar. Hendaknya kita segera bersimpuh
dihadapan kebesaran dan keagungan Allah. Marilah kita contoh apa yang
dilakukan oleh Rasulullah saw ketika beliau mendapati gerhana. Yang beliau
lakukan adalah melakukan sholat, sebagai bentuk pengagungan terhadap Allah
SWT.
Terjadinya bencana bisa bermakna
bahwa Allah menjewer kita, memperingatkan kita, agar kita beristighfar,
bertaubat, dan berbenah diri.
Jika tidak sekadar menjewer, niscaya bumi dan segenap isinya sudah hancur
tanpa sisa dan tanpa bekas. Allah SWT berfirman dalam QS Fathir: 45:
“Dan kalau sekiranya Allah menyiksa manusia disebabkan apa yang mereka
lakukan, niscaya Dia tidak akan meninggalkan di atas permukaan bumi suatu
mahluk melata pun. Akan tetapi Allah menangguhkan (penyiksaan) mereka, sampai
waktu yang tertentu. Maka apabila datang ajal mereka, maka Sesungguhnya Allah
adalah Maha melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya.”
Kalau
Allah masih mau menjewer kita, itu artinya Allah masih sayang kepada kita.
Justru yang lebih kita takutkan adalah ketika Allah akan membiarkan kita.
Itulah yang disebut dengan istidraj, sebagaimana yang Allah pernah lakukan
terhadap Fir’aun.
Jeweran
Allah terhadap kita adalah seperti jeweran orangtua terhadap anaknya yang
masih kecil. Jeweran itu tidak lain kecuali agar si anak berubah menjadi
lebih baik.
Dalam
skup individu, kalau Allah sayang kepada kita maka Allah akan menimpakan
ujian dan musibah kepada kita, seperti sakit, kehilangan, dan sebagainya.
Yang demikian itu untuk memperingatkan kita, dan menghapus dosa-dosa kita.
Maka,
setelah berkali-kali Allah menjewer kita, kita layak bertanya: Mengapa
jeweran ini kok terus-menerus? Mengapa bencana tak kunjung selesai? Mengapa
kita tidak kunjung bertaubat dan berubah menjadi baik? Mengapa korupsi dan
kolusi di negeri ini seolah-olah tidak bisa dipangkas dan tidak jelas ujung
pangkalnya, sulit diurai, mbulet, dan misterius.
Sama
seperti anak kecil, kalau dia dijewer sekali kok belum berubah maka dia akan
dijewer lagi. Tetapi kalau belasan kali atau bahkan puluhan kali dijewer kok
belum berubah juga, itu namanya anak bebal, susah dinasihati, dan keras hati.
Bagaimanapun
juga, marilah kita ber-husnudzon dengan jeweran-jeweran Allah. Semoga dengan
berbagai macam bencana dan musibah yang menimpa, Allah hendak mengangkat
derajat kita, mengentaskan kita dari kebobrokan, tapi dengan syarat: jika
kita mampu melampaui ujian ini, yakni dengan kembali kepada Allah dan
berbenah diri.
Semestinya
kita sadar bahwa musibah atau bencana apapun bentuknya tidak akan pernah bisa
dilepaskan dari perbuatan dan tingkah polah kita. Allah SWT berfirman, “Apa
yang menimpamu berupa kebaikan maka itu adalah dari Allah, dan apa yang
menimpamu berupa keburukan maka itu adalah dari dirimu-sendiri.” (QS
An-Nisa’: 79). Allah SWT juga berfirman, “Dan apapun yang menimpa kalian
berupa musibah maka itu adalah akibat perbuatan tangan-tangan kalian sendiri,
dan agar Allah memaafkan sebagian besar (dari kesalahan-kesalahan kalian).”
(QS Asy-Syura: 30). Bahkan secara lebih tegas lagi Allah SWt berfirman,
“Telah nampak kerusakan di daratan dan di lautan akibat perbuatan
tangan-tangan manusia, agar Allah merasakan sebagian (akibat) dari apa yang
mereka kerjakan, agar mereka mau kembali.” (QS Ar-Rum: 41)
Perbuatan
dan tingkah polah kita yang mendatangkan musibah dan bencana pada dasarnya
dua macam. Pertama, yang menyalahi sunnah kauniyah: merusak keseimbangan
alam, seperti penggundulan hutan, pembalakan liar, buang sampah sembarangan,
tidak mempedulikan tata ruang yang baik, dan sebagainya. Kedua, yang
menyalahi sunnah syar’iyah: melanggar aturan-aturan Allah, yang haram
diterjang saja, perintah wajib tidak dilakukan, kemaksiatan merajalela bahkan
sudah dilakukan secara terang-terangan dan tanpa malu-malu lagi.
Sekarang
mari kita tanya diri kita sendiri: apakah melakukan salah satu dari dua
kesalahan itu, atau bahkan dua-duanya sekaligus? Mungkin ada yang menjawab:
“Lho, saya tidak melakukannya.” Ya, mungkin Anda tidak melakukannya. Tapi
bagamana dengan orang-orang di sekitar Anda?
Allah
tidak akan menahan adzabnya hanya gara-gara masih ada segelintir manusia yang
masih baik. Tetapi Allah bisa mengadzab karena kesalahan kolektif kesalahan suatu masyarakat. Kesalahan suatu bangsa.
Dan dalam keadaan seperti ini, Allah tidak akan pilih-pilih dalam menurunkan
adzabnya. “Dan takutlah kalian terhadap siksa yang tidak akan menimpa
orang-orang yang zhalim saja diantara kalian (namun juga menimpa semua
orang), dan ketahuilah bahwasanya Allah amatlah keras siksaan-Nya.” (QS
Al-Anfal: 25) Demikianlah. Ketika Allah menurunkan adzab, maka adzab itu akan
mengenai semua orang: tidak peduli orang yang baik ataupun para ahli maksiat.
(Dirilis tulisan Abdur Rosyid http://menaraislam.com)
|