By Tofik Rochadi
Awal
bulan Maret 2012 tepatnya hari Sabtu, 10 Maret 2012 menteri Pendidikan Nasional
Prof.Dr.Ir. Mohammad Nuh mendarat di lapangan Tri Sanja Slawi
menggunakan helikopter, lalu menuju pendopo kabuapten Tegal. Acara utama adalah
pencanangan Ikrar Ujian Nasional Jujur dan Berprestasi, serta Pendidikan Anti
Korupsi. Hal ini sebelumnya Dinas Dikpora pada hari Selasa (06/3), bertempat di
pendopo Ki Gede Sebayu menyelenggarakan pembacaan ikrar pelaksanaan ujian
nasional jujur dan berprestasi serta pendidikan anti korupsi Kabupaten Tegal
Tahun 2012 bersama Siswa, Guru, Kepala Sekolah dan Komite Sekolah, Dewan Pendidikan Kabupaten Tegal, Wakil Bupati dan DPRD Kabupaten
Tegal. Bunyi ikrar tersebut adalah "Membangun budaya
pembelajaran berdasarkan ajaran agama dan nilai-nilai utama karakter bangsa
yaitu: beriman, bertaqwa, jujur, bersih, santun, cerdas, disiplin, kreatif, kerja
keras dan bertanggung jawab, menyukseskan ujian nasional dengan jujur dan
berprestasi, menerima dan melaksanakan pendidikan anti korupsi".
Mengkin
juga bapak Mendiknas kita terinspirasi kasus
ironis, kisah mengenai Alif, siswa SDN Gadel 2 Surabaya. Ia dipaksa menyebarkan
contekan oleh gurunya saat berlangsung Ujian Nasional SD tahun lalu (2011). Ia
diajari cara menterjemahkan kode jawaban dari gurunya, kemudian memperlihatkan
lembar jawabannya kepada teman yang lain. Kasus contekan massal yang kemudian
terbongkar dan menjadi isu nasional saat itu sungguh sangat ironis. Siami, ibu
si Alif yang membongkar ketidakjujuran yang diinisiasi oleh pihak sekolah atau
guru itu kemudian harus berjuang ditengah perlawanan sekolah dan masyarakat
sekitar yang takut anaknya tidak diluluskan.
Mungkin
saja penggagas pendidikan kita terinspirasi peristiwa yang merupakan fenomena puncak gunung es dari kondisi yang
sama yang terjadi di banyak sekolah lain di negeri ini. Contek-mencontek adalah
“budaya” sekolah kita. Peristiwa ini ironis karena membuka mata kita bahwa peran guru dan kepala
sekolah dalam membumikan kejujuran masih
sangat rendah, bahkan bukannya guru ikut berperan aktif membangun budaya
kejujuran akademik itu, mereka malah mengajarkan kepada siswanya bagaimana
berbuat tidak jujur. Guru yang seharusnya mengajari siswa agar memiliki skill
dan kepribadian yang baik malah menjerumuskan mereka pada budaya ketidakjujuran
akademik, yang pada masa-masa selanjutnya akan merembet pada ketidakjujuran di
luar aspek akademik.
Kasus
tersebut juga mengungkapkan fakta bahwa
sebagian besar anggota masyarakat masih belum sepenuhnya memahami pentingnya
kejujuran, sebagian dari kita lebih mementingkan nilai yang tertera di rapor
ketimbang “nilai-nilai” moral yang dipegang sebagai prinsip hidup oleh anaknya.
Sebagian dari kita juga belum sepenuhnya membumikan budaya kejujuran. Terbukti
bukannya membela Ibu Siami, mereka malah membela guru yang bersalah itu dan
melawan Ibu Siami demi kepentingan semu kelulusan anaknya.
Sekolah
sebagai lembaga pendidikan mestinya memiliki sistem pengajaran akademik maupun
pengajaran pendidikan karakter yang
mengkondisikan peserta didik memiliki kompetensi sesuai dengan standar
kompetensi lulusan yang memadai dan sikap hidup yang baik tanpa berbuat
kecurangan. Karena sekolah tidak memiliki prinsip memegang kebenaran, termasuk
kejujuran akademik, maka sekolah tidak membumikan budaya kejujuran akademik.
Guru sebagai pengajar dan pendidik
adalah sentral dari proses belajar mengajar, bagaimana kualitas guru begitulah
kualitas peserta didiknya. Dalam membumikan tercapainya budaya kejujuran akademik (dan
non-akademik), guru harus menjadi bagian terdepan.
Guru
itu adalah orang yang digugu dan ditiru, dituruti perkataannya dan
contoh tingkah lakunya. Sebagian besar guru tahu tentang teori Modelling,
bahwa anak-anak butuh contoh, model, uswah, atau idola yang ditirunya. Sebagai
pendidik, guru harus bisa menjadi teladan. Kadang-kadang yang terjadi sebaliknya. Guru
secara tidak sadar melakukan perbuatan yang menjadi contoh buruk bagi peserta
didik, dalam hal kejujuran. Saya pernah menjumpai di sekolah yang agak jauh
dari kota, guru memanipulasi nilai ujian (mengatrol nilai) agar ia tidak perlu
melakukan remidial teaching, atau agar tidak dianggap gagal dalam
mengajar, atau guru yang malah menyarankan agar siswanya memanipulasi nilai
rapor agar bisa masuk ke sekolah favorit. Ada juga alasan lain agar sekolah
lulus 100% sehingga mudah mendapatkan siswa baru.
Guru
membumikan dengan menyelipkan
nilai-nilai moral--tidak hanya kejujuran--dalam materi-materi yang mereka
ajarkan. Ini bisa dilakukan tidak hanya mata pelajaran agama atau kewargaan negara,
tetapi dilakukan pada setiap mapel.
Guru
juga perlu memberikan penguatan positif (reinforcement). Berikan pujian
pada peserta didik jika ia melakukan perilaku yang didasarkan pada kejujuran.
Pujian ini akan memberikan mereka semangat dan memotivasi mereka berbuat jujur
pada waktu yang lain. Penguatan positif juga perlu dilakukan dalam bentuk
pemberian penghargaan (reward). Bukankah ada 13 reward tanpa biaya dalam
Quantum Teaching (mulai dari
jentinkan jari, acungan jempol dsb). Misalnya saja seorang siswa yang berhasil
mengerjakan soal ulangan tanpa mencontek atau tanpa menoleh kanan-kiri akan
mendapatkan tambahan poin. Kadang-kadang dalam beberapa kasus, juga diperlukan
sanksi (punishment) kepada siswa yang tidak jujur, misalnya poin
perolehannya dikurangi. Guru juga bisa mengadakan semacam penghargaan atau achievement
award bagi siswa yang nilainya bagus tapi didapat dengan kejujuran. Ini
akan membuat teman-temannya yang lain menemukan role model yang baik
yang bisa ditiru.
Apalah
artinya ikrar dibacakan bersama kalau tidak ada tekad dan komitmen untuk
membumikan nilai-nilai kejujuran akan jauh dari harapan. Dalam mewujudkannya, peran guru
adalah sentral, bukan perenial. Upaya ini juga butuh dukukan dinas pendidikan
dan masyarakat. Memang bukan hal yang mudah, namun juga bukan hal yang tidak
mungkin. Semoga ada harapan untuk generasi mendatang.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar