Senin, 09 April 2012

Membumikan Kejujuran






By Tofik Rochadi

Awal bulan Maret 2012 tepatnya hari Sabtu, 10 Maret 2012 menteri Pendidikan Nasional  Prof.Dr.Ir. Mohammad Nuh  mendarat di lapangan Tri Sanja Slawi menggunakan helikopter, lalu menuju pendopo kabuapten Tegal. Acara utama adalah pencanangan Ikrar Ujian Nasional Jujur dan Berprestasi, serta Pendidikan Anti Korupsi. Hal ini sebelumnya Dinas Dikpora pada hari Selasa (06/3), bertempat di pendopo Ki Gede Sebayu menyelenggarakan pembacaan ikrar pelaksanaan ujian nasional jujur dan berprestasi serta pendidikan anti korupsi Kabupaten Tegal Tahun 2012 bersama Siswa, Guru, Kepala Sekolah dan Komite Sekolah, Dewan Pendidikan Kabupaten Tegal, Wakil Bupati dan DPRD Kabupaten Tegal. Bunyi ikrar tersebut adalah "Membangun budaya pembelajaran berdasarkan ajaran agama dan nilai-nilai utama karakter bangsa yaitu: beriman, bertaqwa, jujur, bersih, santun, cerdas, disiplin, kreatif, kerja keras dan bertanggung jawab, menyukseskan ujian nasional dengan jujur dan berprestasi, menerima dan melaksanakan pendidikan anti korupsi".
Mengkin juga bapak Mendiknas  kita terinspirasi kasus ironis, kisah mengenai Alif, siswa SDN Gadel 2 Surabaya. Ia dipaksa menyebarkan contekan oleh gurunya saat berlangsung Ujian Nasional SD tahun lalu (2011). Ia diajari cara menterjemahkan kode jawaban dari gurunya, kemudian memperlihatkan lembar jawabannya kepada teman yang lain. Kasus contekan massal yang kemudian terbongkar dan menjadi isu nasional saat itu sungguh sangat ironis. Siami, ibu si Alif yang membongkar ketidakjujuran yang diinisiasi oleh pihak sekolah atau guru itu kemudian harus berjuang ditengah perlawanan sekolah dan masyarakat sekitar yang takut anaknya tidak diluluskan.
Mungkin saja penggagas pendidikan kita terinspirasi peristiwa yang merupakan  fenomena puncak gunung es dari kondisi yang sama yang terjadi di banyak sekolah lain di negeri ini. Contek-mencontek adalah “budaya” sekolah kita. Peristiwa ini ironis karena membuka mata kita bahwa peran guru dan kepala sekolah dalam membumikan kejujuran  masih sangat rendah, bahkan bukannya guru ikut berperan aktif membangun budaya kejujuran akademik itu, mereka malah mengajarkan kepada siswanya bagaimana berbuat tidak jujur. Guru yang seharusnya mengajari siswa agar memiliki skill dan kepribadian yang baik malah menjerumuskan mereka pada budaya ketidakjujuran akademik, yang pada masa-masa selanjutnya akan merembet pada ketidakjujuran di luar aspek akademik.
Kasus tersebut  juga mengungkapkan fakta bahwa sebagian besar anggota masyarakat masih belum sepenuhnya memahami pentingnya kejujuran, sebagian dari kita lebih mementingkan nilai yang tertera di rapor ketimbang “nilai-nilai” moral yang dipegang sebagai prinsip hidup oleh anaknya. Sebagian dari kita juga belum sepenuhnya membumikan budaya kejujuran. Terbukti bukannya membela Ibu Siami, mereka malah membela guru yang bersalah itu dan melawan Ibu Siami demi kepentingan semu kelulusan anaknya.
Sekolah sebagai lembaga pendidikan mestinya memiliki sistem pengajaran akademik maupun pengajaran pendidikan  karakter yang mengkondisikan peserta didik memiliki kompetensi sesuai dengan standar kompetensi lulusan yang memadai dan sikap hidup yang baik tanpa berbuat kecurangan. Karena sekolah tidak memiliki prinsip memegang kebenaran, termasuk kejujuran akademik, maka sekolah tidak membumikan budaya kejujuran akademik.
Guru sebagai pengajar dan pendidik adalah sentral dari proses belajar mengajar, bagaimana kualitas guru begitulah kualitas peserta didiknya. Dalam membumikan  tercapainya budaya kejujuran akademik (dan non-akademik), guru harus menjadi bagian terdepan.
Guru itu adalah orang yang digugu dan ditiru, dituruti perkataannya dan contoh tingkah lakunya. Sebagian besar guru tahu tentang teori Modelling, bahwa anak-anak butuh contoh, model, uswah, atau idola yang ditirunya. Sebagai pendidik, guru harus bisa menjadi teladan.  Kadang-kadang yang terjadi sebaliknya. Guru secara tidak sadar melakukan perbuatan yang menjadi contoh buruk bagi peserta didik, dalam hal kejujuran. Saya pernah menjumpai di sekolah yang agak jauh dari kota, guru memanipulasi nilai ujian (mengatrol nilai) agar ia tidak perlu melakukan remidial teaching, atau agar tidak dianggap gagal dalam mengajar, atau guru yang malah menyarankan agar siswanya memanipulasi nilai rapor agar bisa masuk ke sekolah favorit. Ada juga alasan lain agar sekolah lulus 100% sehingga mudah mendapatkan siswa baru.
Guru membumikan  dengan menyelipkan nilai-nilai moral--tidak hanya kejujuran--dalam materi-materi yang mereka ajarkan. Ini bisa dilakukan tidak hanya mata pelajaran agama atau kewargaan negara, tetapi dilakukan pada setiap mapel.
Guru juga perlu memberikan penguatan positif (reinforcement). Berikan pujian pada peserta didik jika ia melakukan perilaku yang didasarkan pada kejujuran. Pujian ini akan memberikan mereka semangat dan memotivasi mereka berbuat jujur pada waktu yang lain. Penguatan positif juga perlu dilakukan dalam bentuk pemberian penghargaan (reward). Bukankah ada 13 reward tanpa biaya dalam Quantum Teaching (mulai dari jentinkan jari, acungan jempol dsb). Misalnya saja seorang siswa yang berhasil mengerjakan soal ulangan tanpa mencontek atau tanpa menoleh kanan-kiri akan mendapatkan tambahan poin. Kadang-kadang dalam beberapa kasus, juga diperlukan sanksi (punishment) kepada siswa yang tidak jujur, misalnya poin perolehannya dikurangi. Guru juga bisa mengadakan semacam penghargaan atau achievement award bagi siswa yang nilainya bagus tapi didapat dengan kejujuran. Ini akan membuat teman-temannya yang lain menemukan role model yang baik yang bisa ditiru.
Apalah artinya ikrar dibacakan bersama kalau tidak ada tekad dan komitmen untuk membumikan nilai-nilai kejujuran akan jauh dari  harapan. Dalam mewujudkannya, peran guru adalah sentral, bukan perenial. Upaya ini juga butuh dukukan dinas pendidikan dan masyarakat. Memang bukan hal yang mudah, namun juga bukan hal yang tidak mungkin. Semoga ada harapan untuk generasi mendatang.


Tidak ada komentar:

Posting Komentar