Oleh:
Tofik Rochadi
Krisis global yang melanda dewasa ini
sangat dirasakan. Bukan saja anak-anak, remaja bahkan orang dewasa krisis moral
semakin tampak. Kita merasakan budaya eforia tak terbendung, orang sekarang
mudah protes jika tak nyaman dengan dirinya, bahkan golongan manapun sekarang
mudah melakukan demo, turun ke jalan hingga bertindak anarkis. Inilah abad
demokrasi yang kebablasan. Lebih memprihatinkan adalah mencari tokoh yang dapat
dijadikan panutan, rasanya sekarang susah sekali mendapatkan tokoh teladan di negeri ini. Barangkali tak begitu
salah jika dekadensi ini akibat lunturnya pendidikan karakter.
Saya pernah mengelola pembelajaran
siswa berbasis lingkungan dalam bentuk fieldtrip.
Kegiatan ini dilakukan di lingkungan sekolah dimana siswa diajak jalan-jalan ke
suatu tempat di sana siswa melihat, mengamati, bertanya, menggali, bahkan ikut
mempraktekkan dan akhirnya siswa membuat laporan perjalanan tersebut secara simpel.
Saya pilih lokasi sekitar sekolah ada yang ke industri pembuatan tahu, pengolahan
minyak cengkih, pengolahan teh, pemerahan
susu, dan agrobisnis. Kebanyakan siswa senang dan menikmati pembelajaran outdoor tersebut. Inilah yang kami
harapkan siswa memiliki life skill atau
kecakapan hidup, namun saya belum merasa terobati adanya nuansa pendidikan
karakter yang akan mengubah moral dan perilaku siswa.
Kini saya menyambut gembira hari ini
(Senin, 19 Maret 2012) Ki Entus Susmono,
di Desa Bengle, Kecamatan Talang, Tegal
yang setiap saya lewat di depannya berkesan seperti keraton tertutup gerbang tinggi
dari kayu tua, kini secara resmi terbuka lebar
untuk umum khususnya bagi pelajar. Ki
Enthus dalang kondang itu merelakan ruang padepokan yang luas dan unik di setting
seperti keraton pada “alam pewayangan” itu sebagai sarana belajar life skill sekaligus pendidikan
karakter. Inilah yang selanjutnya disebut “Rumah
Wayang”, dengan harapan dapat
melestarikan seni pewayangan yang merupakan salah satu kekayaan budaya bangsa. Mengapa
ada ide kreatif Ki Enthus, Ketua Persatuan Pedalangan Indonesia (Pepadi) Pusat,
Eko Tjipto SH, menyoroti tentang dunia seni pewayangan di tanah air yang
semakin hari makin tergerus seni modern.
"Siapa saja yang mau
melihat-lihat atau belajar seni pewayangan datang saja ke rumah wayang ini,
tidak dipungut biaya alias gratis", ujar Enthus. Menurut saya tidak
sekedar belajar seni pewayangan, karena ternyata di sana siapa saja dapat
belajar proses pembuatan wayang, tokoh-tokoh
wayang, cerita wayang, dan seluk beluk wayang atau apa saja tentang wayang.
Cerita pewayangan sarat dengan petuah, teladan, dan amanat kehidupan tentang
berbudi luhur, saling tolong menolong, bekerja keras, toleransi, dermawan, tanggungjawab,
jujur/amanah, hormat atau santun, kepemimpinan /keadilan dan rendah hati. Tetapi
juga karakter antagonis bersifat jahat yang harus kita hindari. Di sinilah pembeda
karakter “ hitam putih” sangat jelas digambarkan dalam tokoh-tokoh wayang.
Tidak sulit kita mencari tokoh teladan tanpa mengkultuskan.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar