By
Tofik Rochadi
Dari balik korden Dea menguping ibunya sedang berbicara dengan seseorang di
ruang tamu. Ibu sudah pernah melarang Dea untuk tidak menguping dengan sengaja.
Tadinya Dea ingin ke luar, tapi belum sampai ke ruang tamu, ia mendengar ibunya
sedang berbicara. Dea ingin sekali tahu siapa tamu ibunya itu, jadi sebenarnya
ia tidak sengaja.
“Daster ini memang bagus, Bu, tapi harganya...” terdengar suara ibunya
“Sudahlah, Bu, dibayar separuh dulu juga boleh, nanti sisanya diangsur”
jawab seseorang.
“Iya, tapi berat buat saya, Bu”
“Sisanya dicicil tiga kali juga bisa, Bu Nani” Itu suara Bu Nardi. Oh, rupanya ibu sedang tawar menawar. Bu Nardi adalah
pedagang keliling yang membawa segala macam pakaian. Hampir setiap hari ia
mendatangi rumah-rumah menawarkan dagangannya. Itulah sebabnya nyaris seluruh
penghuni perumahan ini mengenalnya dengan baik. Tapi sepertinya baru sekali ini
Bu Nardi masuk ke rumah Dea. Kemudian ia mengintip kejadian di ruang tamu. Nampak ibunya sedang mengelus
daster di pangkuannya kemudian
menempelkan ke badannya.
“Ini asli batik Pekalongan, Bu, dijamin adem dan tidak luntur. Tuh, jahitannya juga rapi. Ini murah, Bu! Coba Ibu
lihat di toko, harganya berapa? Kontan! Kalau sama saya ringan, Bu” suara Bu
Nardi ramah dan bersemangat, tidak mengenal kata menyerah. Sepertinya ia
tahu bahwa calon pembelinya sangat
menginginkan daster merah jambu itu. Ibu menimang-nimang daster itu dan terus meraba kehalusan kainnya.
“Bagaimana Bu Nani? Ayolah! Bila Bu Nani bayar sekarang separuh, saya
korting. Bagaimana?” Bu Nardi merayu lagi
“Aduh, maaf Bu, bukannya saya tidak suka dengan daster ini, tapi maaf ya,
Bu, saya masih punya angsuran panci dan lainnya lagi. Belum lagi bayar buku
Dea” jawab ibu dengan tegas sambil meletakkan daster itu ke tangan Ibu Nardi.
Dea terkejut ibunya menjawab demikian. Panci? Rasanya ibu tidak punya panci
baru! Angsuran buku? Buku apa? Ah, aneh
sekali!
Bu Nardi terus membujuk, tapi nampaknya tidak berhasil. Akhirnya Bu Nardi
mengemasi barang-brangnya dan berpamitan. Dea tahu ibunya membutuhkan dan
menginginkan daster itu. Dea pernah mendengar--juga tidak sengaja-- pembicaraan ayah dan ibu soal daster. Ibu
berkata daster yang biasa dipakainya sudah usang, kainnya sudah lapuk,
bahkan sudah ada yang sobek di bagian lengan, tapi ibu sudah menjahitnya.
“Kalau keuangan Ibu longgar, ya belilah” begitu jawaban ayah waktu itu.
Memang pakaian ibu tidak begitu banyak. Aduh, kasihan ibuku, begitu kata Dea
dalam hati. Ia ingin tahu berapa si sebenarnya harga daster itu? Apakah mahal
sekali, sehingga ibunya tidak berani mengambilnya? Dea mengurungkan niatnya ke luar lewat pintu depan. Setelah berpikir
sejenak, ia menunggu Bu Nardi di pintu
samping. Ketika Bu Nardi lewat. diam-diam ia mengikutinya. Ketika sampai di
tempat yang sepi, Dea berteriak:
“Bu..! Bu Nardi!”
Yang dipanggil menoleh dengan heran, tapi setelah tahu siapa yang
memanggilnya, ia tidak hanya tersenyum
lebar, tapi tertawa gelak-gelak, mengira bahwa ibu Dea akhirnya setuju
mengambil daster itu.
“Oo.. Nok Dea, disuruh ibu memanggil saya ya?”
“Tidak..tidak, Bu. Saya mau beli daster”
“Lho! Ibu tidak bawa daser anak-anak. Ada juga, rok! Ibu punya rok bagus!”
Bu Nardi menurunkan tas besarnya sambil mengajak Dea menepi.
“Bukan daster untuk anak-anak, Bu, tapi daster yang ditawar ibuku tadi..”
“Oh, itu! Ibumu jadi?”
“Tidak, tidak, Bu. Saya yang mau beli...buat ibuku”
“Hadiah buat ibumu? Hadiah ulang tahun?” selidik Bu Nardi
“Bu..bukan. Ya buat ibuku saja, tapi bukan hadiah ulang tahun..” jawab Dea
polos
“Betul Nok, namanya hadiah kan tidak harus diberikan
waktu ulang tahun” kata Bu Nardi sambil mengeluarkan daster merah jambu.
“Tapi bayarnya bisa diangsur ya, Bu?” tanya Dea berlagak seperti ibu-ibu
“Ya tentu saja, anak baik” puji Bu Nardi, “sekarang bayar separuh, sisanya
diangsur”
“Tapi berapa saya harus bayar sekarang, Bu?” Dea bertanya dengan
berdebar-debar, takut uangnya tidak cukup. Untung ia tadi sempat mengambil uang
sebelum mengikuti Bu Nardi.
“Sekarang Nok Dea bayar sepuluh ribu. Sisanya lima belas ribu, bisa
diangsur tiga kali”
Lega rasa hati Dea, karena uangnya cukup untuk membayar uang muka. Seminggu
yang lalu ia mengisi kuis berhadiah ketika ikut rombongan sekolahnya
mengunjungi Pameran Permusiuman dan Kepurbakalaan Tingkat Propinsi di kotanya.
Karena beruntung, ia mendapat hadiah lima puluh ribu rupiah. Separuh uang itu
ditabung, sebagian untuk membeli crayon dan sisanya itulah yang diberikan
kepada Bu Nardi.
Dea tersenyum puas. Cepat-cepat dibawanya daster itu pulang. Untung ibu
tidak mengetahuinya. Mulai besok pagi Dea harus menyisihkan uang sakunya supaya
bisa mengangsur daster itu. Ah, tidak mengapa! Kalau perlu aku mengambil
tabungan, yang penting ibuku senang. Begitu pikirnya.
Malam harinya Dea sibuk menyiapkan ‘hadiah’ buat ibunya. Pagi-pagi sebelum
berangkat sekolah, ia meletakkan kado
yang dibungkus kertas indah itu di atas meja kamar ibunya. Ditutupnya kado itu
dengan sapu tangan, supaya ayah tidak melihatnya.
Di sekolah, Dea gelisah. Ia membayangkan bagaimana wajah ibunya ketika
“menemukan’ kado itu. Apalagi ketika membaca tulisan
“Daster Buat Ibuku Sayang”
yang ia selipkan di dalamnya. Pasti ibu
akan terkejut. Pikiran Dea tidak tenang mengikuti pelajaran, ingin segera
pulang.
Ketika akhirnya bel tanda pelajaran usai berdering, Dea cepat-cepat
mendahului teman-temannya. Sampai di rumah, seperti biasa, setelah mengucap
salam, ia memanggil-manggil ibunya, tapi tidak ada sahutan. Ada apa ini? Apakah
ibunya pergi? Kalau pergi, kenapa pintu tidak dikunci? Kenapa tidak
meninggalkan pesan di tempat biasa? Ia segera menuju kamar ibunya. Kado di atas
meja sudah tidak ada! Berarti ibu sudah.....
“Wa’alaikumsalam!!” tiba-tiba ia dikejutkan suara ibunya, yang muncul dari
balik pintu. Ibu mengenakan daster merah jambu, tersenyum sambil mengembangkan
tangannya. Dea pun masuk ke dalam pelukannya. Sesaat ibu dan anak itu berpelukan.
“Terimakasih Dea, kamu anak baik” kata ibunya setelah melepaskan pelukannya
“Ibu cantik sekali” komentar Dea, “Ibu senang baju ini?”
“Ya, tentu saja, tapi...”
“Tapi apa, Bu?” Dea khawatir jangan-jangan sebenarnya ibu tidak menyukainya
“Dari mana uang kamu untuk beli daster ini?” tanya ibu
“Lho, ibu kan tahu, Dea dapat hadiah kuis! Sisa beli crayon masih ada, Dea
bayarkan pada Bu.....” Dea menutup
mulutnya dengan tangan, merasa keceplosan
“Jadi benar kamu ambil dari Bu Nardi? Ibu juga menebak begitu”
“Iya, Bu. Ibu tidak marah kan? Jangan kuatir, Bu, sisanya nanti diangsur
dengan uang saku Dea..” Ibunya menggeleng-gelengkan kepala.
“Kamu pasti menguping!” ibu menjewer telinga Dea dengan sayang. Dea
berteriak, pura-pura kesakitan. Akhirnya ibu berkata:
“Dea, Ibu menghargai usaha kamu menyenangkan Ibu, tapi bagaimanpun juga Ibu
tidak setuju kamu belajar berhutang. Bagaimana kalau Ayah tahu? Pasti Ayah akan
kecewa pada Ibu. Bukankah Ayah selalu bilang, berhutang itu jangan dilakukan,
kecuali sangat terpaksa. Apalagi anak kecil! Masa kamu, kelas lima sudah
belajar berhutang.... tidak boleh itu! Kalau menginginkan sesuatu kita harus
bersabar. Kita kumpulkan uang dulu sampai cukup, baru kita beli sesuatu...”
“Tapi Ibu bilang sedang mengangsur panci?” sela Dea. Ibu tertawa.
“O itu, kan alasan Ibu saja, supaya Bu Nardi tidak tersinggung. Dengar ya
Dea, walau pun hidup kita sederhana, tapi Insya Allah hati kita tenang karena
Ayah dan Ibu tidak pernah berhutang.
Kecuali jika kelak untuk modal usaha. Kamu tidak pernah
dengar kan, Ayah dan Ibu ribut soal uang? Jadi, Dea sayang, nanti sore kita
tunggu Ibu Nardi lewat, dan....”
“Dan kita kembalikan daster ini ?” tanya Dea dengan cemas
“O, tidak, tidak Dea cakep, masa daster sudah Ibu pakai dikembalikan!
Labelnya saja sudah Ibu buang!”
“Jadi?”
“Kita lunasi saja! Biar kita tidak punya hutang. Biar Ibu yang melunasi”
“Tapi, kata Bu Nardi, sisanya masih lima belas ribu, boleh dibayar tiga
kali! Apa ibu punya..?”
“Tenang Dea, kan Bu Nardi janji akan memberi kortingan. Ingat? Ibu yakin
kekurangannya tidak sampai sepuluh ribu...” Dea hanya mengangguk-angguk.
“Sudah, sana ganti baju, cuci tangan. Setelah makan, solat!” perintah
ibunya.
“Siap, bos!” jawab Dea sambil memberi hormat.
Setelah solat, Dea merengunkan nasehat ibunya. Ia berjanji, kelak akan
seperti ibunya, supaya hidup tenang karena tidak punya hutang. Tak urung ia
tertawa geli dalam hati, teringat kemarin ia punya hutang. Hi-hi-hi, anak kecil
punya utang! Tapi semoga sore ini juga semuanya bisa diselesaikan.
***
Cerpen ini mengangkat tema sederhana
tetapi bisa kita ambil amanatnya yang mendalam berbasis Pendidikan Karakter, Telusuri
selengkapnya pada Buku Kumpulan Cerita Anak “Daster untuk Ibu” .